Sidang lanjutan kasus dugaan penerimaan gratifikasi mantan Kepala Kantor Bea dan Cukai Makassar, Sulawesi Selatan, Andhi Pramono di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat. (ANTARA/Fath Putra Mulya)

Jakarta, Aktual.com – Jaksa Penuntut Umum KPK menyebut nota keberatan atau eksepsi penasihat hukum mantan Kepala Kantor Bea dan Cukai Makassar, Sulawesi Selatan, Andhi Pramono adalah tidak berdasar sehingga patut untuk ditolak atau tidak dapat diterima.

“Alasan keberatan atau eksepsi penasihat hukum terdakwa yang mendalilkan surat dakwaan kami atas nama terdakwa Andhi Pramono tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap sehingga dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima adalah tidak berdasar,” kata salah satu JPU KPK Joko Hermawan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Rabu (6/12).

Jaksa berpendapat bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh penasihat hukum Andhi seharusnya dikategorikan sebagai pleidoi, karena cenderung merupakan pembelaan untuk kliennya, dan bukan sebagai eksepsi yang sah.

“Surat dakwaan sudah memenuhi syarat formil dan materil sesuai ketentuan Pasal 143 Ayat (2) huruf a dan huruf b KUHAP,” kata Hermawan.

Sebagai langkah lanjutan, jaksa memohon kepada majelis hakim agar menolak atau menyatakan tidak menerima eksepsi dari penasihat hukum Andhi. Selain itu, jaksa meminta agar majelis hakim menyatakan surat dakwaan sah secara hukum sebagai dasar untuk memeriksa dan mengadili perkara pidana terhadap Andhi Pramono.

Pada akhir pernyataannya, jaksa memohon agar sidang pemeriksaan perkara pidana dengan terdakwa Andhi Pramono dilanjutkan berdasarkan surat dakwaan penuntut umum. Sidang ini akan melanjutkan agenda dengan pembacaan putusan sela pada Rabu, 13 Desember 2023.

Sebelumnya, Edhhi Sutarto, kuasa hukum Andhi Pramono, membacakan eksepsi yang menyatakan bahwa gratifikasi yang diterima oleh kliennya tidak terkait dengan jabatannya sebagai petinggi di Bea Cukai, Kementerian Keuangan. Sutarto mengklaim bahwa Andhi hanya terlibat dalam kerja sama bisnis terkait ekspor-impor, tanpa kaitannya dengan statusnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Andhi Pramono didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp58,9 miliar, yang terdiri dari sejumlah mata uang. Dakwaan tersebut mencakup pelanggaran Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, bersamaan dengan Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Artikel ini ditulis oleh:

Sandi Setyawan