“(Rekaman CCTV) sudah dibawa (penyidik),” kata Sofyan di Gedung KPK
Sementara ketika ditanyakan lebih jauh soal isi dari pertemuan dengan para tersangka itu,Sofyan memilih mengabaikannya.
“Tanya penyidik, kita nggak berhak,” kata dia
Pengembangan proyek PLTU Riau-1 ini diketahui melalui penunjukan langsung kepada anak usaha PLN, PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB). Di mana PJB diberikan kewenangan untuk mencari mitra dalam pengerjaannya dengan kepemilikan mayoritas berada di tangan PJB 51% dan 49% sisanya dimiliki konsorsium PT Samantaka Batubara yang merupakan anak perusahaan Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Co., Ltd.
Eni melalui surat yang ditulisnya dari balik sel tahanan, mengaku kemampuan yang dimiliki PLN untuk proyek ini hanya sebesar 10 persen. Untuk menutupi kekurangannya menggunakan pinjaman dari pihak lain.
Menengok pernyataan Eni tersebut, tak tertutup kemungkinan Eni, Johannes dan sejumlah pihak lain kongkalikong untuk mencari suntikan dana agar PLN dapat memiliki 51 persen. Dengan demikian, PLN melalui PT PJB dapat menunjuk langsung konsorsium Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Co., Ltd sebagai mitra kerja dalam menggarap proyek PLTU Riau-1 sesuai aturan dalam Perpres nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
Namun, Sofyan mengklaim proses penunjukan langsung konsorsium Blackgold Natural Resource dan China Huadian Engineering Co., Ltd, klaim Sofyan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. “Memang itu ketentuannya,” tandas Sofyan.
Dalam kasus ini, KPK baru menetapkan Eni dan Johannes B Kotjo sebagai tersangka. Eni diduga menerima suap Rp 4,8 miliar dari Johannes terkait kesepakatan kontrak kerja sama proyek PLTU Riau-1 yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017. Proyek ini merupakan proyek penujukan langsung yang diserahkan pada PT Pembangkitan Jawa-Bali, anak perusahaan PT PLN sejak dua tahun lalu
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby