Gedung yang hanya terletak sekitar 300 meter dari gedung lama tersebut rencananya akan mulai ditempati akhir 2015 atau awal 2016 tergantung penyelesaian dan kesiapan gedung yang memiliki tinggi 16 lantai. Gedung tersebut mulai dibangun sejak Desember 2013 dengan nilai kontrak Rp195 miliar direncanakan memiliki 70 ruang pemeriksaan dan gedung penjara yang mampu menampung 50 orang, 40 pria dan sepuluh wanita.

Jakarta, Aktual.com – Ada yang kurang baik dalam Tata kelola obat sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan delapan persoalan dalam tata kelola obat JKN.

Temuan ini pun telah dijabarkan KPK kepada Menteri Kesehatan (Menkes), Nila Djuwita F. Moeloek dan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Penny Kusumastuti Lukito.

“Sektor kesehatan menjadi perhatian KPK. Karenanya, kami akan terus memantau rencana perbaikan yang akan dilakukan masing-masing pemangku kepentingan,” kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata saat jumpa pers di kantornya, Jakarta, Rabu (19/10).

Dipaparkan Alex, delapan persoalan yang dimaksud antara lain, ketidaksesuaian Formularium Nasional (FORNAS) dan e-catalogue dalam aturan perubahan FORNAS, mekanisme pengadaan obat melalui katalog elektronik belum optimal, dan tidak akuratnya Rencana Kebutuhan Obat (RKO) sebagai dasar pengadaan.

Dalam katalog elektronik ada empat temuan pelanggaran. Pertama ketidaksesuaian daftar obat pada Panduan Praktik Klinis (PPK) FKTP dengan FORNAS FKTP, belum adanya aturan minimal tentang kesesuaian FORNAS pada Formularium Rumah Sakit di daerah, belum optimalnya monitoring dan evaluasi terkait pengadaan obat, serta lemahnya koordinasi antar lembaga.

“Fakta di lapangan ternyata tidak semua obat FORNAS yang tayang di katalog elektronik. Sebaliknya, ada juga obat yang tidak masuk FORNAS tetapi tayang di katalog elektronik,” sesalnya.

Kondisi ini, sambung dia, mengakibatkan terdapat obat yang tidak memiliki acuan harga sebagai dasar BPJS Kesehatan membayar klaim. Selanjutnya, menimbulkan kesulitan bagi faskes untuk melakukan pengadaan obat karena tidak semua obat yang dbutuhkan tersedia.

Menanggapi temuan KPK, Menkes Nila Djuwita F. Moeloek mengaku menyadari sejumlah kendala yang berada dalam kendalinya, misalnya terkait FORNAS dan RKO. Ia mencontohkan wilayah Papua, dimana Kemenkes mengaku kesulitan dalam mengumpulkan RKO karena kondisi geografi yang ekstrem.

“Namun begitu, ini kami anggap sebagai tantangan yang harus diselesaikan. Akan kami perhatikan betul,” katanya.

Komitmen yang sama juga ditunjukkan Ketua BPOM Penny Kusumastuti Lukito. Ia menyatakan komitmennya untuk melakukan perbaikan tata kelola obat, khususnya yang terkait pada kewenangannya.

Misalnya persoalan yang terkait Nomor Izin Edar (NIE) dan pengawasan post-market. “Kami siap berkoordinasi bersama pihak lainnya untuk melakukan perbaikan,” ujarnya.

Sebagai informasi, kajian tata kelola obat dilakukan karena sejumlah alasan. Di antaranya belanja obat di Indonesia cukup tinggi, yakni berkisar 40 persen dari belanja kesehatan, mahalnya harga obat, perbandingan harga obat generik dengan generik bermerk yang cukup tinggi, Penggunaan obat generik yang relatif rendah.

Selain itu, penggunaan katalog elektronik obat juga belum optimal, baru sekitar 89 persen pada Dinas Kesehatan dan 33 persen pada RS pemerintah, serta persaingan ketat pada industri farmasi sehingga mengakibatkan tingginya biaya promosi dari biaya produksi.

Dari sini, KPK mendorong para pihak melakukanperbaikan yang komprehensif dan terpadu. KPK merekomendasikan Kementerian Kesehatan untukmenerbitkan aturan yang belum ada, melakukan perbaikan dan sinkronisasi aturan yang bertentangandalam pelaksanaan FORNAS, serta penyusunan RKO dan pengadaan melalui katalog elektronik.

M Zhacky Kusumo

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby