Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan empat orang tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait dengan pengalihan anggaran pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (Dinas PUPR) Kota Mojokerto Tahun 2017.
Menurut KPK, tiga dari empat orang tersangka tersebut berstatus sebagai anggota DPRD Mojokerto.
“KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan serta menetapkan empat orang sebagai tersangka, yaitu sebagai pihak penerima Ketua DPRD Kota Mojokerto Purnomo (PNO), Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Umar Faruq (UF), dan Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Abdullah Fanani (ABF),” kata Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Sabtu (17/6).
Sedangkan seorang tersangka lainnya adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (Kadis PUPR) Kota Mojokerto, Wiwiet Febryanto. Wiwiet diduga sebagai pemberi hadiah atau uang kepada tiga tersangka lainnya.
Selain itu, KPK juga mengamankan dua orang perantara berinisial H dan T dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK sore tadi. Namun, hingga kini keduanya masih berstatus sebagai saksi.
Menurut Basaria, dari operasi tangkap tangan ini, penyidik KPK berhasil mengamankan uang sebesar Rp 470 juta. Dari jumlah tersebut, Rp 300 juta di antaranya diduga merupakan cicilan dari Wiwiet kepada Purnomo.
Basaria mengungkapkan bahwa total uang yang dijanjikan oleh Wiwiet kepada Purnomo berjumlah Rp 500 juta.
“Diduga uang senilai Rp300 juta merupakan pembayaran atas total komitmen Rp500 juta dari Kadis Dinas PUPR kepada pimpinan DPRD Kota Mojokerto agar anggota DPRD Kota Mojokerto menyetujui pengalihan anggaran dari anggaran hibah (Politeknik Elektronika Negeri Surabaya) menjadi anggaran program penataan lingkungan pada Dinas PUPR Kota Mojokerto Tahun 2017 senilai sekitar Rp13 miliar,” jelas Basaria.
Sedangkan sisa uang senilai Rp170 juta, lanjut Basaria, diduga terkait komitmen setoran triwulan yang telah disepakati sebelumnya.
“Uang tersebut diamankan dari antara lain Rp140 juta ditemukan di mobil Wiwiet Febryanto (WF), Rp300 juta ditemukan di mobil perantara H, dan Rp30 juta dari tangan perantara T,” ucapnya.
KPK sendiri telah melakukan penyegelan beberapa ruangan di kantor DPRD dan Dinas PUPR Kota Mojokerto untuk kepentingan pengamanan barang bukti.
Basaria menjelaskan bahwa praktik korupsi seperti ini dapat merambat dan memicu bentuk korupsi lain yang juga merugikan keuangan negara. Selain itu, lanjutnya, efek domino yang dihasilkan juga dapat melemahkan fungsi pengawasan yang seyogyanya dilakukan oleh DPRD.
“KPK mengimbau kepada para kepala daerah dan jajarannya serta anggota DPRD di seluruh Indonesia menghentikan praktik seperti ini atau jika mendapatkan informasi permintaan uang agar melaporkan kepada KPK,” ucap Basaria.
Menurut Basaria, sebagai pihak yang diduga pemberi, Wiwiet Febryanto dapat disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal ini sendiri mengatur mengenai pemberian sesuatu kepada pegawai negeri atau pennyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pelanggaran pasal ini sendiri terancam hukuman minimal satu tahun penjara dan maksimal lima tahun penjara dengan denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
Sementara sebagai yang diduga penerima Purnomo (PNO), Umar Faruq (UF), dan Abdullah Fanani (ABF) disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
(Teuku Wildan)
Artikel ini ditulis oleh: