Jakarta, aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap jumlah debitur terindikasi melakukan fraud dalam kasus dugaan korupsi fasilitas kredit ekspor di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) bertambah menjadi 15 perusahaan, dari sebelumnya 11 debitur.
Penambahan daftar ini merupakan hasil pengembangan penyidikan dan juga berasal dari penyerahan perkara oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Yang saya ketahui, kemarin ada penyerahan perkara dari OJK,” ungkap Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, di Jakarta, Jumat (4/7).
Saat dikonfirmasi lebih lanjut, Asep memastikan bahwa penambahan tersebut seluruhnya berasal dari temuan OJK. Namun, ia belum merinci estimasi kerugian negara dari penambahan empat debitur baru tersebut. “Masih dikomunikasikan dengan auditor BPKP,” ujarnya.
Sebelumnya, KPK mengungkap bahwa dugaan kerugian negara dari 11 debitur awal mencapai Rp11,7 triliun. Total potensi kerugian ini bersumber dari dugaan penyaluran kredit ekspor yang bermasalah dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Hingga kini, KPK telah menetapkan lima orang tersangka, terdiri dari dua mantan pejabat LPEI dan tiga orang dari salah satu debitur, PT Petro Energy (PE).
Para tersangka adalah, Dwi Wahyudi (DW) Mantan Direktur Pelaksana LPEI, Arif Setiawan (AS) Mantan pejabat LPEI, Jimmy Masrin (JM) Pemilik PT Petro Energy, Newin Nugroho (NN) Direktur Utama PT Petro Energy dan Susy Mira Dewi Sugiarta (SMD) Direktur Keuangan PT Petro Energy
Menurut KPK, PT Petro Energy menerima fasilitas kredit ekspor sebesar US$18 juta dalam termin pertama dan Rp549 miliar pada termin kedua.
“Total kredit yang diberikan dan jadi potensi kerugian negara kurang lebih Rp11,7 triliun. Untuk bulan Maret lalu, KPK telah menetapkan lima orang tersangka, sedangkan 10 debitur lainnya masih dalam proses penyidikan,” jelas Kasatgas Penyidikan KPK, Budi Sokmo, dalam konferensi pers sebelumnya.
KPK menegaskan penyidikan terhadap kasus ini akan terus dikembangkan, termasuk menelusuri aliran dana dan potensi keterlibatan pihak-pihak lain, baik dari internal LPEI maupun dari perusahaan penerima kredit.
Kasus ini menjadi perhatian karena melibatkan kerugian negara dalam jumlah besar dan menyangkut lembaga keuangan milik negara yang seharusnya mendukung ekspor nasional.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano

















