Ketua Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti (kiri), Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang (tengah), dan Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK-Indonesia) Arif Susanto menjadi pembicara diskusi di Jakarta, Selasa (3/1). Diskusi itu mengangkat tema Hati-Hati: Politik Dinasti Rawan Korupsi. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/kye/17

Jakarta, aktual.com – Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 terkait penetapan dokumen persyaratan capres dan cawapres sebagai informasi publik yang dikecualikan, menuai kritik keras.

“Sangat aneh bin ajaib. Saya tidak mendapatkan argumen yang rasional, progresif dan menunjang pemilu yang jurdil di dalamnya,” kata Ray.

Menurutnya, aturan tersebut justru bertolak belakang dengan prinsip pemilu demokratis yang menekankan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.

“Prinsip ini juga diatur dalam UU No 7/2017 Pasal 5 ayat (2), yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu dilakukan berdasarkan asas terbuka, akuntabel, dan profesional, serta dalam Pasal 474, yang mengatur partisipasi masyarakat dalam pemantauan dan pengawasan pemilu,” jelasnya.

Ray menyoroti bahwa dokumen yang dibatasi aksesnya justru berisi poin-poin penting dan mendesak untuk diketahui publik, seperti laporan harta kekayaan capres-cawapres ke KPK, SKCK, status pailit, surat pernyataan tidak sedang mencalonkan diri di DPR/DPRD, serta bukti pelunasan pajak.

Selain itu, ada pula profil pribadi, ijazah, surat pengadilan yang menyatakan belum pernah dipenjara, hingga pernyataan pengunduran diri dari TNI, Polri, ASN, atau BUMN.

“10 poin di atas justru poin penting untuk sesegera mungkin diketahui oleh para pemilih. 10 poin ini menggambarkan kejujuran capres/cawapres, kejatidirian mereka, dan kesungguhan mereka untuk menjadi calon pejabat publik. Maka karena itulah, 10 poin ini dibuat sebagai sarat peserta capres/cawapres,” tegas Ray.

Lebih mengejutkan lagi, Ray mengungkapkan bahwa aturan ini hanya berlaku selama lima tahun. Artinya, dokumen baru bisa diakses ketika sudah tidak relevan.

“Ini benar-benar terbalik. Mestinya 16, khususnya 10, dokumen yang dimaksud terbuka kepada umum selama 5 tahun. Dan baru dinyatakan ditutup setelah 5 tahun dari masa pendaftaran. Apalagi guna membuka dokumen setelah 5 tahun?” tanyanya.

“Di mana diasumsikan capres/cawapres sudah tidak menjabat lagi. Untuk apa keperluannya bagi publik mengetahui keaslian ijazah, SKCK, tidak pernah dipidana, laporan harta kekayaan, dan sebagainya setelah mereka tidak lagi duduk di jabatan publik. Aneh bin ajaib benar KPU ini,” sambungnya.

Ray menambahkan, KPU bukan sekali ini saja membuat aturan yang dianggap bertolak belakang dengan prinsip pemilu jujur dan demokratis. Ia mengingatkan kembali soal penerimaan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka saat PKPU belum diubah, serta masalah aturan keterwakilan perempuan di dapil yang sempat kalah di pengadilan.

“Jadi, kita menemukan anggota KPU yang terlihat enggan mendorong pemilu jurdil, transparan, partisipatif dan akuntabel. Mereka lebih nyaman berlindung di belakang kehendak partai-partai dari pada mendorong satu pemilu yang mengarusutamakan partisipasi, transparansi, akuntabilitas,” kata Ray.

“Utamanya juga mencegah para koruptor atau calon koruptor masuk ke jabatan publik. Salah satunya adalah mendorong keterbukaan informasi atas harta kekayaan para capres/cawapres. Bukan menutupnya,” tambahnya.

Bahkan, Ray menilai KPU semakin terlihat sebagai kepanjangan tangan partai politik.

“Sekarang, saya kira, KPU bukan saja terlihat sebagai petugas Komisi II tapi juga seperti penganut paham Mulyonoisme. Paham yang melihat transparansi, partisipasi, akuntabilitas sebagai gangguan dan menciptakan buzzer sebagai jawaban,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain