Ilustrasi TKA
Jakarta, Aktual.com – Kebijakan pemberian bebas visa bagi warga negara dari 169 negara melalui Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016 mendapatkan sorotan publik. Pasalnya, kebijakan itu dinilai lebih besar mudharatnya dibandingkan manfaatnya.
Selain kebijakan Perpres 21, pemberian izin Kementerian Ketenagakerjaan bagi pekerja asing bekerja di Indonesia dengan status pekerja tetap juga mendapatkan sorotan. Kebijakan Kemenaker ini disinyalir sebagai bentuk pengkhianatan terhadap Undang-Undang 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Padahal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan disebutkan dengan tegas bahwa penggunaan tenaga kerja asing hanya dapat dilakukan untuk kepentingan pekerjaan dengan keahlian.
“Ini merupakan gambaran jelas jika pemerintah tidak berdaya menghadapi tekanan dari asing, melalui kesepakatan negara-negara dalam World Trade Organization (WTO),” tegas pengamat politik Jajat Nurjaman, di Jakarta, Senin (19/12).
Menurutnya, pemerintah seharusnya bisa memberikan alasan menolak serbuan kehadiran tenaga kerja asing dengan berpegang pada UU Ketenagakerjaan. Jika kemudian dibuka, selain melanggar UU, izin dari Kemenaker itu pada gilirannya bisa melahirkan persangingan yang tidak sehat.
“Ini akan berpotensi (melahirkan) persaingan tidak sehat, mengingat pada saat ini banyaknya perusahaan di Indonesia didominasi oleh perusahan asing,” jelas Jajat.
Merujuk data BPS Februari 2016, lanjut dia, angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,02 juta orang atau 5,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan kata lain, masih banyak sekali penduduk Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah.
Terutama dalam penyediaan lapangan pekerjaan dan memberikan pendidikan dan keterampilan setiap warga negara agar mampu bersaing dengan pekerja asing. Ia khawatir dibukanya kran tenaga kerja asing itu ke depan angka pengangguran di Indonesia akan semakin meningkat.
Pemerintah, ditambahkan jajat, perlu mengkaji tumpang-tindihnya aturan ketenagakerjaan secara mendalam. Dengan penekanan tidak mendegradasi hak-hak pekerja lokal dengan tetap mempertimbangkan kesepakatan antar negara.
“Supaya tidak ada aturan yang tumpang tindih, sehingga hak-hak para pekerja tidak tergradasi hanya karena adanya kesepakatan antar negara yang telah disepakati oleh pemerintah,” pungkasnya.
(Soemitro)

Artikel ini ditulis oleh:

Bawaan Situs