Jakarta, Aktual.com – Krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1998 silam telah menelan biaya penyelematan yang sangat tinggi. Bahkan biaya penyelamatan krisis itu mencapai 70 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Sejauh ini, Indonesia memang sudah mengalami krisis keuangan di sektor moneter dua kali. Krisis 1998 dan krisis tahun 2009. Krisis 1998 itu yang paling parah sepanjang perekonomian Indonesia.
Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, pengalaman krisis sistem keuangan terutama sistem perbankan itu seperti 1998 jangan sampai terulang kembali, pasalnya biayanya sangat mahal.
“Jika kita mengacu ke krisis 1997-1998 itu adalah masa krisis ekonomi yang paling besar. Dimana saat itu biaya yang kita keluarkan untuk menyelamatkan krisis mencapai 70 persen dari PDB,” tuturnya di cara Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Jakarta, Kamis (22/9).
Menurut Menkeu, krisis moneter tahun 1998 itu menjadi penyelamatan terbesar sepanjang krisis yang terjadi di dunia ini.
“Saya pikir biaya penyelamatan krisis tahun 1998 itu menjadi yang terbesar di dunia. Dan yang bisa dibandingkan adalah krisis di Argentina,” ungkap dia.
Apalagi saat ini, kata Menkeu, Indonesia tengah berada di dalam periode recovery dari dampak perlambatan ekonomi global. Sehingga pemerintah tetap bekerja keras agar krisis-krisis yang sudah terjadi tidak terulang kembali.
Krisis tahun 1998 memang telah menyedot biaya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sangat besar. Bahkan, untuk penyelamatan saat itu dibentuk lembaga Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Menkeu melanjutkan, Indonesia juga kembali mengalami krisis sektor keuangan pada tahun 2008-2009. Akibat krisis di AS sebagai dampak dari krisis macet sektor properti atau subprime mortage. Namun kala itu tidak sedahsyat krisis sebelumnya.
“Untuk itu, kedua pengalaman tersebut bisa menjadi bekal bagi Indonesia untuk mengantisipasi jika kembali terjadi krisis ekonomi,” jelas dia.
Dia menmabhakan, saat ini sudah ada UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), dimana regulator jasa keuangan, seperti Bank Indonesia (BI), LPS, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Menkeu sendiri yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
(Reporter: Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka