Jakarta, aktual.com – Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-MPO) mengingatkan krisis kemanusiaan dan upaya genosida yang terjadi terhadap muslim Rohingya di Myanmar merupakan permasalahan umat Islam Asia Tenggara. Krisis ini menurut HMI (MPO) adalah persoalan serius yang memerlukan perhatian internasional, termasuk bangsa Indonesia.
“Himpunan Mahasiswa Islam sangat prihatin dengan krisis ini, terjadi krisis kemanusiaan dan upaya genosida terhadap masyarakat muslim Rohingya. Umat Islam di Asia Tenggara seharusnya peduli, karena sudah berpuluh-puluh tahun hal ini terus berlangsung. Persoalan ini butuh dukungan internasional, khususnya dari negara muslim terbesar di dunia, Indonesia,” ujar Ketua Umum PB HMI (MPO), Muhammad Fauzi dalam siaran pers, Rabu (29/6).
Selain itu dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi Hubungan Internasional PB HMI (MPO), Ruslan Arief BM juga menambahkan bahwa etnis Rohingya tanpa hak kewargaan, dan negara-negara ASEAN terkesan membiarkan karena negara-negara Asean menganut Principle of Non-Interference.
“Di Myanmar penguasa junta militer yang berkuasa di sana melakukan tindakan anti-kemanusiaan terhadap komunitas muslim Rohingya. Perlu digarisbawahi, tindakan politik Junta Militer ialah hak kewargaan 1,3 juta muslim Rohingya tidak diakui. Orang Rohingya dianggap imigran gelap dari Bangladesh, padahal mereka telah menetap berabad-abad di Myanmar. Selain itu negara-negara ASEAN juga diam karena menganut Principle of Non-Interference. perlu dukungan publik yang luas agar bisa mendorong kebijakan terhadap krisis ini,” ucapnya.
PB HMI (MPO) juga berharap adanya penggalangan dan kampanye masif tentang krisis muslim Rohingya.
“HMI (MPO) berharap dilakukan penggalangan dan kampanye masif untuk meningkatkan kesadaran publik akan krisis Rohingya. Selain itu harus ada rekomendasi kebijakan yang bisa menjadi solusi, pesoalan pengungsi Rohingya di Aceh dan genosida yang terus berlangsung di Myanmar, kita tidak bisa hanya mengurusi pengungsi saja, namun abai dengan persoalan mendasar dari krisis. Pengambil kebijakan perlu didorong untuk memberikan solusi dan kebijakan yang jelas.” Ujar Ruslan.
Sebelumnya di akhir Juni 2016, kembali terjadi konflik antara umat Buddha dan Muslim Myanmar untuk pertama kali sejak pemerintah baru dilantik. Massa menyerang seorang pria Muslim, menjarah rumahnya, dan menghancurkan pembangunan sebuah masjid. Selain itu, pernyataan Suu Kyi kepada Reporter Khusus untuk Hak Asasi Manusia-PBB bahwa pemerintah Myanmar tetap bersikeras menghindari penggunaan istilah “Rohingya” pada Senin (20/6), menunjukkan diskriminasi masih terus berlangsung.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan