Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong usai membuka acara Indonesia Knowledge Forum (IKF) V 2016 di Jakarta, Kamis (06/10/2016). Forum ini merupakan bagian dari komitmen BCA dalam mendukung pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Aktual/Eko S Hilman

Jakarta, Aktual.com – Krisis moneter yang terjadi di Turki dikhawatirkan berdampak buruk terhadap capaian realisasi investasi di Indonesia pada semester kedua 2018 menyusul gejolak mata uang di negara-negara berkembang selama triwulan kedua.

Kekhawatiran ini dilontarkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong dalam paparan di Jakarta, Selasa (

“Kami prihatin ini membawa dampak untuk prospek bagi investasi di triwulan ketiga dan keempat tahun ini,” kata Kepala

Tom, sebagaimana ia kerap disapa, menjelaskan pengaruh krisis moneter di Turki yang mengakibatkan depresiasi rupiah terjadi melalui pasar uang dan pasar modal.

Menurut mantan Menteri Perdagangan itu, pengaruh krisis moneter di Turki melalui pasar uang dan pasar modal menyebabkan investor menarik kembali investasi mereka di negara berkembang.

Capital outflow itu mekanisme yang terjadi di negara berkembang seperti Argentina dan Turki, dan berdampak kepada negara berkembang lainnya seperti India, Indonesia, dan Filipina,” katanya.

Tom meyakini pemerintah tidak akan tinggal diam menghadapi perkembangan yang terjadi di pasar modal dan menekan stabilitas rupiah.

Ia menyebutkan pemerintah akan mengambil langkah-langkah istimewa untuk membantu meningkatkan fundamental ekonomi Indonesia.

“Yang sudah berjalan konkret adalah upaya yang gencar soal B20 dan pemerintah sudah menghitung itu punya potensi menghemat 6 miliar dolar AS per tahun,” katanya.

Upaya lain yang disambut positif, lanjut Tom, adalah rencana kebijakan istimewa yang memberikan fasilitas bebas pajak (tax holiday) hingga 50 tahun.

“Saya sangat menghargai Presiden dan Menkeu atas kebijakan-kebijakan istimewa seperti ini yang bisa mengurangi ketergantungan pada impor,” katanya.

Menurut Tom, sekitar 75 persen impor Indonesia merupakan bahan baku.

“Investasi-investasi di hulu industri yang bisa mengurangi ketergantungan impor bahan baku, menurut saya, jelas layak diberikan insentif istimewa apalagi di kondisi begini di mama pasar harus melihat tindakan realistis yang meningkatkan ekonomi jangka panjang,” katanya.

Selanjutnya, upaya lain untuk mendukung realisasi investasi di tengah ketidakpastian global adalah terobosan di sektor ekonomi digital dan “e-commerce”.

“Terus terang banyak regulasi kebijakan kita belum mencerminkan yang terkini. Kalau sistem kebijakan bisa dimodernisasi, diupdate, lebih mencerminkan realitas teknologi saat ini, tentu akan sangat membantu menjaga momentum investasi di ‘e-commerce’,” tuturnya.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan