Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Jusuf Kalla (kanan) memimpin rapat terbatas membahas proyek galangan kapal di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (28/6). Presiden menginstruksikan untuk mengembangkan industri galangan kapal atau area pabrik pembuatan kapal laut di dalam negeri yang mampu memproduksi kapal tanker, kargo, kapal penumpang, feri, untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/kye/15

Direktur Eksekutif Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq mengatakan sikap konfrontatif Kabareskrim Komjen Budi Waseso terhadap kritik Buya Syafii Maarif, tidak mencerminkan komitmen berkepolisian dalam proses penegakkan hukum.

“Publik berhak tahu pertimbangan dan alasan pemidanaan dua komisioner Komisi Yudisial oleh kepolisian yang terlihat janggal,” kata Fajar di Jakarta, Rabu (15/7).

Menurut dia, penegakkan hukum tanpa kontrol dan kritik akan sangat berbahaya.

Atas nama hukum, kata dia, kriminalisasi rentan terjadi kepada siapapun yang dianggap menganggu kepentingan segelintir elite.

“Kenapa Buya Syafii bersuara keras dan merekomendasikan Budi Waseso dicopot? Itu karena Buya Syafii menyerap kegelisahan publik, menerima banyak masukan seiring kian melemahnya komitmen pemberantasan korupsi dari pemerintahan Jokowi-JK,” kata dia.

Fajar menyesalkan Kepolisian yang tidak peka dan cenderung menjadi alat politik.

Konsistensi sikap kritis Buya ini, lanjut dia, mementahkan tuduhan beberapa pihak bahwa ia merupakan bumper pemerintah.

Mantan Ketua PP Muhammadiyah ini, kata Fajar, meminta Presiden Jokowi untuk turun tangan agar kriminalisasi benar-benar berhenti seperti pesannya sendiri.

Jokowi harus mengambil langkah dan jangan biarkan sikap-sikap konfrontatif Budi Waseso mengikat tangan presiden.

Presiden harus berani mencopot Kabareskrim demi integritas dan transparansi penegakkan hukum.

“Terlalu mahal ongkosnya jika presiden mengabaikan aspirasi publik yang sudah tidak percaya lagi kepada ujung tombak penegakkan hukum,” tukas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby