Jakarta, Aktual.com – Paradigma pulau besar dan obsesi pertumbuhan yang membingkai perencanaan pembangunan di Indonesia selama ini telah menelantarkan sektor maritim. Padahal sektor maritim justru sangat instrumental bagi pemerataan pembangunan dan kedaulatan politik di Indonesia.

Hal itu menjadi salah satu poin kritik yang dilontarkan Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan ITS Surabaya Profesor Daniel Mohammad Rosyid terkait proyek NCICD (National Capital Integrated Coastal Development) dan reklamasi di Teluk Jakarta.

Kata peraih gelar Ph.D dari Dept. of Marine Technology, the University of Newcastle upon Tyne, Inggris itu, paradigma pulau besar menjadikan laut sebagai ruang yang tidak bernilai. “Sehingga harus diurug agar bernilai,” ujar dia dalam penjelasan tertulis yang diterima Aktual.com, Sabtu (24/9).

Sedangkan visi Poros Maritim Dunia, justru mengandaikan pembangunan yang direncanakan sebagai sintesis lingkungan.

Di poin selanjutnya, Daniel berpendapat NCICD yang muncul dari proyek MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) itu, tidak selaras dengan hakekat Nawa Cita.

Dimana Nawa Cita justru membutuhkan kebijakan afirmatif ‘Melihat Ke Timur’, mengutamakan pemerataan, membangun dari pinggir, penguatan kemaritiman dan rehabilitasi serta konservasi lingkungan.

“(Selain itu) Indonesia masih memiliki banyak pulau-pulau alam yang perlu dibangun demi keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar pria yang aktif di Muhammadiyah Jawa Timur itu.

Diingatkan Daniel, pesisir dan laut adalah barang milik publik. Sehingga, yang berwenang melakukan pembangunan Giant Sea Wall (GSW) dan reklamasi Teluk Jakarta adalah pemerintah.

Dengan begitu, tekanan untuk menswastakan pulau-pulau buatan yang sudah terlanjur terbangun, bisa dihindari. “Lahan pulau-pulau buatan harus diserahkan ke Pemerintah untuk dimanfaatkan bagi kepentingan publik. Pusat Pemerintahan bisa ditempatkan di sana,” ujar dia.

Pakar Kelautan ITS: NCICD dan Reklamasi Jakarta Perlu Dikaji Ulang

Profesor Kelautan ITS: Reklamasi Jakarta Abaikan Prinsip Keterpaduan

Kajian Reklamasi Tertutup, Ilmuwan: Kalau Salah Siapa Tanggung Jawab?

Artikel ini ditulis oleh: