Jakarta, Aktual.com – Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dari Kantor Staf Presiden (KSP) membahas lebih lanjut percepatan penyelesaian 60 konflik agraria di sektor perkebunan.

“Ya. Dalam kesepakatan rakor, hal itu (pencabutan izin) menjadi salah satu opsi penyelesaian konflik agraria di sektor perkebunan yang dapat dilakukan oleh Menteri ATR/Kepala BPN,” kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) yang juga Wakil Ketua Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA) Usep Setiawan di Jakarta, Rabu (3/7).

Sebelum rapat koordinasi ini, ia menjelaskan telah melakukan pertemuan dengan Dirjen Penanganan Masalah di Kementerian ATR/BPN membahas secara umum data 60 kasus, dan inti dari substansi yang akan dibahas, serta proses dalam rapat koordinasi ini.

Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani dalam rakor menyebutkan beberapa masalah utama yang terjadi dalam konflik terkait agraria sektor perkebunan antara lain; pertama, perusahaan perkebunan tidak mempunyai kemampuan mengusahakan tanah dan jangka waktu pemberian hak guna usaha (HGU) telah habis, sementara tanah-tanah tersebut selama puluhan tahun telah dimanfaatkan oleh masyarakat.

Kedua, perusahaan perkebunan melakukan penelantaran tanah, jangka waktu HGU perusahaan belum habis, sementara tanah-tanah tersebut juga telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Ketiga, pembangunan plasma perkebunan yang belum (tidak) dilakukan atau tidak sesuai dengan perjanjian dengan masyarakat.

Keempat, tumpang tindih lahan yang diklaim oleh pihak perkebunan dengan lahan garapan atau milik masyarakat. Kelima, perkebunan dituduh oleh masyarakat memiliki lahan lebih luas dari sertifikat HGU yang dimiliki dan mencaplok tanah-tanah masyarakat.

Sebelumnya, Usep juga menjelaskan bahwa poin-poin kesepakatan bersama tersebut merupakan langkah dan model penyelesaian yang akan dilaksanakan oleh Kementerian ATR/BPN secara lintas direktoral jenderal (penanganan masalah, penataan, dan pengendalian) bersama kementerian di bidang kehutanan (PSKL dan PKTL), pertanian (perkebunan), BUMN (bisnis PTPN), dalam negeri (Otda dan Bina Administrasi Kewilayahan), dan kepolisian untuk menghindari represifitas dan kriminalisasi rakyat dalam penanganan konflik agraria.

Langkah penting lain yang disepakati, diantaranya melakukan verifikasi bersama di lapangan, mendorong tanah konflik diselesaikan sebagai Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), melakukan revisi atas HGU yang mengalami konflik agraria, dan bersinergi dengan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di daerah.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan