Jakarta, Aktual.com – Kantor Staf Presiden mencermati Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo di hadapan MPR, DPR, DPD RI, yang mengingatkan agar tidak ada lagi politik identitas, politisasi agama dan polarisasi sosial pada Pemilu 2024.
Menurut Deputi IV KSP Juri Ardiantoro, pesan Presiden tersebut berangkat dari situasi dan kondisi kontestasi politik belakangan ini, baik pemilu maupun pilkada yang cenderung memecah belah bangsa, bahkan merusak sendi-sendi kebangsaan.
“Kompetisi politik tidak seharusnya menghalalkan segala cara yang destruktif,” tegas Juri di Jakarta, Selasa (16/8).
Menurut Juri, politik identitas yang destruktif dan politisasi agama merupakan bahaya laten yang perlu diwaspadai bersama, terutama menjelang momentum politik, sebab hal tersebut bisa menjadi akselerator bagi gugurnya konstruksi sosial yang melahirkan konflik horizontal berkepanjangan.
“Politik identitas dan agama yang dipolitisasi adalah formula yang sangat mudah untuk melakukan radikalisasi dan penyesatan masyarakat,” ujarnya.
Juri menambahkan, politik yang dibalut agama selalu menjadi komoditas favorit untuk diperdagangkan menjelang pemilu seperti saat ini, di mana agama selalu dijadikan justifikasi untuk meraih tujuan-tujuan politik.
“Kepada siapa pesan itu diberikan? Kepada semua pihak, baik para elit politik maupun masyarakat umum. Keterbelahan politik di masyarakat adalah akibat dari perilaku politik para elit dalam berbagai level yang tidak sadar betapa berbahayanya politisasi agama dan politik identitas,” kata Juri.
Sebelumnya melalui Pidato Kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2022, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa, Presiden mengingatkan, jangan ada lagi politik identitas, politisasi agama, dan polarisasi sosial pada Pemilu 2024.
Presiden menekankan demokrasi di Indonesia harus semakin dewasa dan konsolidasi nasional harus diperkuat.
Artikel ini ditulis oleh:
Arie Saputra