Jakarta, Aktual.com – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan uji materi Pasal 153 Ayat 1 Huruf f Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sebagaimana diketahui, dalam Pasal 153 ayat 1 huruf f diatur; Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama.
Frasa yang menyebut; kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama menjadi celah bagi perusahaan melarang pegawainya menikah dengan kawan sekantornya.
Presiden KSPI Said Iqbal menjelaskan jika pegawai tetap ingin menikah, biasanya perusahaan mengharuskan salah satu orang mengundurkan diri dari perusahaan.
Namun demikian, Mahkamah Konstitusi menyatakan aturan tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 27 Ayat 2, Pasal 28 Ayat 1, Pasal 28C Ayat 1, dan Pasal 28D Ayat 2 UUD 1945.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, maka perusahaan tidak bisa melakukan PHK atau menetapkan aturan yang melarang karyawannya menikah dengan rekan kerja satu kantor.
“KSPI meminta seluruh pengusaha di Indonesia dan Apindo menjalankan keputusan MK, dengan tidak lagi melarang pekerja dalam satu perusahaan menikah,” kata Presiden KSPI Said Iqbal di Jakarta pada hari Jum’at (15/12).
“KSPI juga meminta Pemerintah dalan hal ini Kementerian Ketenagakerjaan untuk mengawasi dan memastikan putusan MK ini dapat berjalan di semua perusahaan,” lanjutnya.
Menurut Said Iqbal, ada 3 (tiga) hal yang menjadi dasar bagi KSPI mengapresiasi putusan tersebut.
Pertama, berdasarkan Konvensi organisasi perburuhan dunia ILO, tidak boleh ada diskriminasi dalam dunia kerja. Larangan pekerja dalam satu perusahaan menikah adalah bentuk diskriminasi. Sebab biasanya salah satu pekerja harus mengundurkan diri, dan biasanya yang rentan menjadi korban adalah pekerja perempuan.
Kedua, berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, setiap warga negara berhak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan adanya larangan pekerja dalam satu perusahaan menikah (jika menikah salah satu harus mengundurkan diri), maka hal itu sama saja telah mencabut hak pekerja untuk tetap mendapatkan pekerjaan.
Ketiga, dalam dunia ketenagkerkaan modern ini, sudah tidak relevan lagi mensyaratkan mengenai perkawinan. Sebab saat ini yang menjadi penilaian utama adalah profesionalisme, efisiensi kerja, dan keterampilan (skill).
“Berdasarkan hal-hal di atas, maka buruh memandang putusan MK sudah sangat tepat,” pungkas Said Iqbal.
Pewarta : Dadangsah Dapunta
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs