Petani melakukan panen padi saat musim panen di Kecamatan Mangku Bumi, Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (3/9). Pada musim panen sekarang ini, para petani di Tasikmalaya mengeluhkan turunnya harga gabah kering dari sebelumnya Rp.490.000 per kuintal, menjadi Rp.390.000-Rp.400.000 per kuintal. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Di tengah isu global yang kencang menyuarakan tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs), sektor pertanian juga harus menjadi perhatian prioritas dari pemerintah.

Namun sayangnya, sejauh ini kondisi pertanian masih terbelakang dengan ditandai mayoritas petaninya masih berstatus petani gurem. Hal itu terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang masih rendah.

Menurut pengamat pangan-pertanian, Khudori saat ini, petani gurem yang mendominasi para petani seluruh Indonesia mencapai 55 persen. Kondisi itu semestinya tak dibiarkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian.

“Sedang di sisi lain, sebanyak sepertiga petani kita juga sudah tua, yaitu di atas 54 tahun. Sehingga kondisi itu membuat para petani tak adaptif terhadap perubahan-perubahan yang ada,” cetus Khudori dalam diskusi “Mewujudkan Pertanian Berkelanjutan untuk Wujudkan Hak Atas Pangan”, di Jakarta, Minggu (301/10).

Memang terkait kondisi petani gurem, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga September 2016, NTP yang tersebar di berbagai daerah memang masih rendah. NTP gabungan berada di posisi 102,02. Hal itu menjadi bukti bahwa daya beli petani masih lesu.

Khudori menambahlan, permasalahan yang dihadapi para petani memang tak mudah. Saat ini, dengan jumlah penduduk bertambah, dan aebagian bersar kelas menengah yanv kian banyak, membutuhkan pangan yanh semakin berkualitas dengan jumlah yang besar.

“Namun faktanya, produksi pertanian tidak mudah. Masih banyak masalah yang dihadapi. Ditambah lagi, terjadi penurunan kualitas lahan,” tegas dia.

Penurunan kualitas lahan yang dimaksud adalah, tanah yang terus dieksploitasi terus menerus akan merasa “sakit”, sehingga berdampak ke produktivitas sektor pertanian.

“Ditambah lagi masalah klasik yang belum terselesaikan. Seperti sumber air di hulu juga sangat rusak. Tutupan lahan di hulu yang menjamin ketersediaan air, ternyata semakin kecil. Itu tugas pemerintah yang harus mengatasinya,” tandas Khudori.

Tak sampai di situ, kata dia, masalah lainnya juga terkait pergeseran iklim yang tak bersahabat dengan sektor pertanian.

Menurutnya, berdasar penelitian, saat ini musim kering itu datangnya 40 hari lebih cepat dari yang semestinya dan musim hujan itu ternyata datang 40 hari lebih lambat.

“Sehingga perubahan iklim itu mempersulit perencanaan pola tanam. Makanya, ke depan harus ada penyesuaian pola tanam. Dan pemerintah tetap harus bisa mengatasinya. Jangan diserahkan ke petani,” pungkas dia.

Kondisi pertanian yang terus menurun, tentu akan menjadi tantangan besar untuk menuju ketahanan pangan. Apalagi berdasar data Food and Agriculture Organization (FAO) terkait Global Food Security Index tahun 2016, dari 117 negara yang disurvey, posisi indeks ketahanan pangan Indonesia berada di peringkat 71.

Kalah dari Vietnam yang berada di posisi 67. Bahkan yang ironis, juga masih kalah dari negara yang relatif tak stabil sosio-politiknya, Argentina yang berada di peringkat 37.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan