Jakarta, Aktual.com – Pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh pemerintahan di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla dinilai tak berkualitas. Sehingga pertumbuhan itu pun tak mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Dengan begitu, kendati pemerintah mengklaim, pertumbuhan Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di dunia, namun faktanya angka pengangguran masih tinggi.
“Itu terjadi karena kualitas pertumbuhan semakin memburuk. Sektor yang memiliki pertumbuhan tinggi terbatas pada sektor nontradable. Sementara pertumbuhan sektor tradable cukup rendah di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Terutama pertumbuhan sektor industri,” ujar Direktur INDEF Enny Sri Hartati di Jakarta, Sabtu (10/12).
Memang, kata Enny, selama 2004-2015, rata-rata pertumbuhan sektor industri hanya sebesar 4,66 persen. Angka tertinggi justru di tahun 2004 yang mencapai 6,38 persen. Bahkan yang lebih parah lagi, sampai saat ini, sektor pertanian malah semakin terpinggirkan.
“Tapi di era Jokowi ini, pertumbuhan semakin memburuk. Karena faktanya, elastisitas penyerapan tenaga kerja semakin mengalami penurunan dibanding masa-masa sebelumnya.”
Pada 2016, kata dia, estimasi pertumbuhan 1 persen hanya mampu menyerap 110 ribu tenaga kerja. Hal itu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. “Karena sebelumnya, 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 225 ribu tenaga kerja pada tahun 2011.”
Hal ini semakin diperparah lagi dengan terpinggirkannya sektor pertanian. Padahal di negara lain, seperti di Thailand yang tetap memprioritaskan sektor pertanian, justru mamou sebagai penopang sektor industri.
Padahal, kata dia, tujuan akhir dari pembangunan Indonesia adalah mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Sehingga, mestinya pembangunan tersebut mampu mengurangi berbagai persoalan bangsa seperti pengangguran dan kemiskinan. Serta tak menimbulkan residu berupa pelebaran ketimpangan pendapatan.
“Sehingga pada akhirnya pertumbuhan itu memang tak hanya tinggi, tapi yang terpenting berkontribusi besar terhadap persoalan bangsa.”
Ditambah lagi dengan adanya pertambahan penduduk yang tinggi, jelas Enny, akan menjadi bermasalah ketika tidak diikuti oleh kemampuan perekonomian dalam menciptkan lapangan kerja. Sehingga akan menjadi beban pembangunan.
Pertumbuhan yang kurang nerkualitas juga, lanjutnya, akan menghasilkan residu bagi perekonomian, yaitu pengangguran terdidik yang semakin meningkat. Kendati perguruan tinggi bertambah, namun tidak dibarengi dengan penyerapan lulusannya.
Alhasil, kata dia, pengangguran terdidik justru meningkat. Data Badan Pusat Statitik di tahun ini, pengangguran terdidik mencapai 14,45 persen. “Bahkan pendidikan vokasi juga yang katanya menyiapkan tenaga kerja siap pakai, persentase penganggurannya meningkat menjadi 19,2 persen.”
Laporan: Busthomi
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu