Jakarta, Aktual.com — Yayasan Supersemar pertanyakan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) berkewajiban untuk membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp 4,4 triliun.
Bambang Hartono, kuasa hukum Yayasan Beasiswa Supersemar mengatakan, meski putusan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), namun dari mana dasar hukum uang jutaan dolar Amerika Serikat itu.
“Inikan sudah inkracht, yayasan dihukum membayar 75% x US$ 420 juta dan 75% x 185 milyar. Saya hanya bisa jawab, kalau uang yayasan tidak ada dan dasar hukumnya juga dari mana uang jutaan dolar itu,” ujar Bambang usai sidang aamaning di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (20/1).
Ia mempermasalahkan dasar pembayaran jutaan dolar AS yang dibebankan kepada Yayasan peninggalan mendingan Presiden Soeharto itu. Karena Yayasan merasa tidak pernah menerima uang dalam bentuk dolar AS dari pemerintah.
“Bisa dibuktikan, bahwa uang jutaan dolar itu kita tidak pernah menerima uang dari pemerintah berbentuk mata uang dolar Amerika,” ucap Bambang.
Lebih jauh Bambang menuturkan, putusan PK MA itu menyatakan Yayasan Supersemar dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menerima dana dari 8 bank pemerintah yang totalnya US$ 420 juta.
“Totalnya ada 420 juta dolar. Bank pemerintah itu tidak pernah memberikan uang berbentuk dolar,” kata dia.
Atas dasar itu, pihaknya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan sidang perdananya pada tanggal 14 Januari 2016 dilanjutkan 4 Februari mendatang. Tujuannya untuk meminta keadilan, bukan untuk melawan pemerintah.
“Saya temukan satu bukti, bahya menerima Rp 309 milyar dari periode 1979-1998, 112 kali (turunnya) dan itu bukti audit yang dilakukan Jamdatun. Itu resmi dikirim ke Pak Harto 15 Desember 1998,” kata Bambang.
Gugatan itu untuk mempertanyakan dari munculnya angka US$ 420 juta, karena Yayasan Supersemar hanya menerima Rp 309 milyar. “420 juta dolar itu saya pertanyakan dari mana uangnya? Kita hargai putusan itu, akan tetapi kita minta keadilan.”
“Uang yang kita terima hanya Rp 309 milyar dan yang sudah dikeluarkan untuk beasiswa itu Rp 706 milyar sampai 2014. Itu untuk bantuan 2.074.000 beasiswa mahasiswa, SMK, atlet, dan lain-lain,” bebernya.
Yayasan Beasiswa Supersemar harus membayar sekitar Rp 4,4 trilyun sesuai putusan MA berawal ketika Presiden Soeharto menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1976 yang menentukan bank negara harus menyetor 50% dari 5% sisa laba bersihnya ke Yayasan Beasiswa Supersemar.
Sejak tahun 1976 hingga Soeharto lengser, Yayasan Supersemar mengantongi dana sejumlah US$ 420,000 dan Rp 185 milyar.
Namun, terjadi penyelewengan dana untuk membiayai pendidikan rakyat Indonesia itu, sehingga setelah Soeharto “tumbang”, Kejagung mewakili negara menggugat Yayasan Beasiswa Supersemar yang diketuai Soeharto atas dugaan melakukan perbuatan melawan hukum.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada 27 Maret 2008 silam, mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Beasiswa Supersemar membayar ganti kerugian kepada negara sejumlah US$ 105 juta dan Rp 46 milyar. Kemudian, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, pada 19 Februari 2009, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
MA semakin menguatkan vonis tersebut dan menghukum Yayasan Besiswa Supersemar membayar kepada penggugat 75% x US$ 420, 000 atau setara dengan US$ 315,000, dan 75% x Rp 185.918.904, hingga totalnya hanya Rp 139.229.178.
Namun terjadi kesalahan pengetikan, sehingga kerugian yang harus dibayar menjadi Rp 185.918.904 dari seharusnya Rp 185 milyar. Adapun majelis hakim yang mengetok vonis kasasi pada 28 Oktober 2010, itu terdiri dari Hakim Agung Harifin Tumpa dibantu Hakim Anggota Rehngena Purba, dan Dirwoto.
Akibatnya, jaksa tidak bisa mengeksekusi putusan ini dan mengajukan langkah hukum Peninjauan Kembali (PK) ke MA pada September 2013. Di saat yang sama, Yayasan Supersemar juga turut mengajukan PK.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby