Penyitaan harta negara tersebut jelas menurut Alfons, bertentangan dengan Undang-undang. Terlebih harta yang disita tersebut milik negara yang berasal dari dana BL peduli, yang pengendaliannya oleh kementerian BUMN. Dana tersebut belum digunakan oleh PT SHS. Dana sebesar Rp69 miliar, juga bukan milik PT SHS.

PT SHS, ujar dia, hanya mendapatkan tugas pengelolaan dana sebagai juru bayar, karena mendapat penugasan khusus dari Menteri BUMN untuk program kebun pangan berupa pencetakan sawah di Kabupaten Ketapang, Kalbar.

Harusnya menurut Alfons, jika diduga ada penyelewengan dalam penggunaan dana, penyidik bisa minta bantuan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk memeriksa dan menelusuri alur penggunaan dana sejak dibayarkan oleh PT SHS kepada rekening kontraktor, konsultan dan para subkon.

Ada beberapa perusahaan yang bekerjasama dengan PT SHS, seperti PT Indra Karya, PT Yodya Karya  PT Hutama Karya dan PT Berantas Abipraya. “PPATK harus menyelidiki arus transaksi keuangan kepada perusahaan-perusaahaan tersebut, follow the money,” ujar Alfons.

Karena, kata Alfons, menurut keterangan saksi proses pembayaran dilakukan dengan ketat, berjenjang mulai dari lapangan hingga ke Direktur Keuangan dan diawasi oleh konsultan pengawas, PT Yodya Karya. “Proses pembayaran mengacu kepada progress pekerjaaan yang dilakukan kontraktor, jadi misalnya kontraktor mengerjakan 50 hektar dan telah memenuhi dokumen persyaratan seperti hasil opname lapangan, ada BAST/Sertifikat maka ia akan dibayar sesuai tagihan,” ujar dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Bawaan Situs