Jadi, kata Daeng, ada potensi repatriasi, perpindahan keuntungan dengan nilai sangat besar sekali dari industri ini ke luar negeri. Apalagi pemegang market share itu 98 persen sahamnya dimiliki oleh asing. Berarti transfer keuntungan itu sepenuhnya dilarikan ke pemegang saham.

Menurut Daeng, pemerintah, telah gagal dalam melihat secara utuh potensi besar industri hasil tembakau. Sehingga, keuntungan pabrik rokok asing, terus kabur ke negeri asal mereka.

Kata Daeng, sampai sekarang, tidak ada regulasi yang cukup memadai untuk mengoptimalkan ekonomi tembakau sebagai fondamen dari ekonomi nasional. Mestinya dengan potensi keuangan sedemikian besar pemerintah bisa membentuk regulasi agar perputaran ekonomi sektor tembakau bisa menciptakan multifer effect besar ke dalam ekonomi nasional.

Misalnya, dengan melibatkan bank bank pembangunan daerah dan nasional di dalam pengelolaan keuntungan industri hasil tembakau sehingga  bisa menjadi penopang keuangan pemerintah.

Dari sisi pajak dan cukai, harus digunakan untuk dua hal pokok. Membangun memperkuat pertanian tembakau di dalam negeri. Pertanian harus diperkuat.

Selama ini yang terjadi disalokasi pemanfaatan cukai tembakau tidak jelas, dimanfaatkan untuk apa dan diarahkan kemana, publik tidak tahu. Jangan sampai dana pajak cukai tiu justru habis dipakai buat bayar utang luar negeri. Itu perkara serius kalau terjadi, karena akan terjadi pelemahan industri dalam jangka panjang, kalau dana cukai dipakai untuk keperluan lain.

Dana cukai pajak, juga harus dipakai memperkuat kembali industri. Memperkuat infrastruktur industri hasil olahan tembakau sendiri dan industri yang terkait. Karena, tembakau pun, punya banyak kegunaan untuk sektor industri lain.

“Apakah industri energi, industri berkaitan dengan bahan baku, apakah  barang modal, bahan baku, termasuk kemampuan menghasilkan mesin industri untuk sustainabilty industri tembakau. Itu akan memenimbulkan multiflier effect,” tegas Daeng.

Selama ini, terkesan pemerintah sibuk berburu semut di seberang, tapi lupa ada gajah di pelupuk mata. Pemerintah melupakan keuntungan industri industi besar di dalam negeri, terutama pabrik rokok asing, yang dikirim kembali ke luar negeri.

Seharusnya, keuntungan industri tembakau yang besar ini, misalkan dibuatkan suatu pengaturan, bahwa pendapatan dari industri ini harus dialokasikan kembali ke dalam negeri, karena industri tembakau ditopang sepenuhnya oleh daya beli masyarakat.

Kalau daya beli jatuh, maka industri jatuh. Kalau pendapatan rakyat jatuh, industri jatuh. Karena industri ini ditopang oleh daya beli masarakat, keuntungan industri rokok asing ini tidak boleh ditransfer ke luar negeri. Boleh, tetapi harus melalaui pengaturan. Misalnya terhadap keuntungan perusahaan asing di sektor tembakau, diwajibkan melalukan re invetasi di dalam negeri untuk jangka waktu lima enam tahun ke depan.

“Kan tax amnesty buktinya bisa, kenapa tidak bisa. Industri tembakau kan bisa dikeluarkan dari kesepatakan billateral invesment trearty , atau dikeluarkan dari kesepakatan WTO karena industri tembakau bersifat khusus karena dikenakan cukai. Pemerintah bisa membuat pengaturan dengan cara membatasi transfer keuntungan dan mewajibkan perusahaan perusahaan re investasi dalam jangka waktu tertentu dalam rangka memperkuat ekonomi nasional. Bisa. Dan saya kita perusahaan asing pun mau,” ucap Daeng.

Reinvestasi, kata Daeng, bisa ditempatkan di industri pendukung, seperti industri permesinan, industri barang modal, atau industri di luar tembakau yang berkaitan dengan pertanian atau indsutri lain. Sehingga pemerintah tidak mengalami potensial lost di dalam ekonomi.

“Karena industri tembakau ditopang daya beli masyarakat, kalau mereka tidak kembali memperkuat daya beli didalam negeri maka otomatis dalam jangka panjang mereka juga yang rugi,” tegasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka