Jakarta, Aktual.co —Sederhana, tanpa pamrih, menjalani hidup yang lurus, dan memiliki komitmen keislaman yang tinggi. Mungkin itulah kalimat yang pas untuk menggambarkan sosok Lafran Pane. Lafran adalah pemrakarsa dan pendiri organisasi mahasiswa yang besar kiprahnya dalam dunia politik di Tanah Air, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), pada 5 Februari 1947.
Ada beberapa nama lain yang disebut sebagai pendiri HMI. Lafran, yang rendah hati, menolak disebut sebagai satu-satunya pendiri HMI. Lafran Pane lahir di Padang Sidempuan, 5 Februari 1922. Tanggal lahirnya persis tanggal kelahiran HMI. Untuk menghindari spekulasi yang macam-macam, Lafran sengaja menyamarkan tanggal kelahirannya. Sesudah ia wafat pada 24 Januari 1991, barulah orang tahu tanggal kelahiran Lafran yang sebenarnya.
Lafran Pane adalah anak keenam keluarga Sutan Pangurabaan Pane dari istrinya yang pertama. Ayah Lafran adalah seorang guru sekaligus seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Keluarga Lafran merupakan keluarga sastrawan dan seniman, seperti kedua kakak kandungnya, yaitu Sanusi Pane dan Armijn Pane.
Pendidikan Lafran dimulai dari Pesantren Muhammadiyah Sipirok. Dari pendidikan dasar hingga menengah, ia sering berpindah sekolah, hingga akhirnya ia meneruskan sekolah di kelas 7 HIS Muhammadiyah. Ini lalu berlanjut ke Taman Dewasa Raya Jakarta sampai pecah Perang Dunia II. Wawasan intelektual Lafran berkembang saat proses perkuliahan, yang ditandai dengan semakin banyaknya buku-buku Islam yang ia baca.
Sebelum tamat dari Sekolah Tinggi Islam (STI), Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada April 1948. Lafran Pane menjadi salah satu sarjana ilmu politik pertama di Indonesia. Ia lebih tertarik ke dunia pendidikan, sehingga keluar dari Kementerian Luar Negeri, dan lalu bekerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada 5 Februari 1947, Lafran menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI karena ia adalah yang menggagas HMI. Lafran mendirikan HMI sebagai aktualisasi dari pandangannya tentang Islam dan Indonesia. HMI dilahirkan sebagai reaksi terhadap situasi saat itu, namun juga berakar pada aspirasi umat Islam yang dikandung selama berabad-abad. Dengan mendirikan HMI, Islam mendapat peran lebih tinggi di kalangan mahasiswa.
Tetapi ia mundur dari Ketua Umum pada 22 Agustus 1947 dan pindah menjadi Wakil Ketua Umum. Ia hanya menjabat Ketua Umum selama 7 bulan dan posisinya diberikan kepada mahasiswa UGM bernama Mohammad Syafa’at Mintaredja. Ini dilakukan Lafran agar HMI tidak terkesan milik mahasiswa STI. Dengan dipimpin mahasiswa UGM, kampus yang lebih besar, diharapkan akan memperluas dakwah HMI di kampus umum dan memperkuat posisi HMI di dunia kemahasiswaan. Dari sini sudah terlihat sifat Lafran yang tanpa pamrih dan tidak gila jabatan.
Kebersahajaan Lafran Pane juga terlihat ketika ia selalu bersepeda dalam menjalankan tugas sehari-hari, baik saat menjadi dosen, maupun setelah jadi Guru Besar Ilmu Tata Negara IKIP Yogyakarta pada 1964. Sesudah terpilih menjadi anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) RI, jika menghadiri sidang-sidang di Jakarta, Lafran juga lebih memilih menginap di penginapan sederhana ketimbang di hotel berbintang.
Saking sederhananya, banyak anggota HMI yunior tidak mengenal sosok Lafran. Pada Konferensi HMI Cabang Yogyakarta ke-27 tahun 1974, ketika Lafran datang ke acara, tak seorang pun yang mengenalnya. Lafran justru dicurigai sebagai mata-mata militer. Sampai salah seorang tamu undangan mengenalnya, dan akhirnya seluruh peserta konferensi meminta maaf pada Lafran.
Lafran tidak marah apalagi tersinggung atas perlakuan itu. Dia justru mengatakan bangga bahwa di antara ratusan ribu kader HMI banyak yang tidak mengenalnya. Hal itu berarti banyak generasi baru di HMI, yang terus bertambah dan akan melanjutkan estafet perjuangan, sehingga wajar bila banyak yang tidak mengenal dirinya.
Dalam hal pemikiran, Lafran Pane mengatakan, agama Islam bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, baik lingkup keluarga hingga lingkup masyarakat dan Negara. Islam berisi aturan dan tuntunan untuk segala aspek kehidupan.
Islam dianggapnya sebagai satu kebudayaan yang sempurna, yang tidak merupakan ciptaan masyarakat, sebab merupakan kebudayaan yang diturunkan Tuhan langsung kepada masyarakat Arab, serta berlaku universal. Meski demikian, karena ada bermacam bangsa yang berbeda masyarakatnya, yang tergantung pada faktor-faktor alam, kebiasaan dan lain-lain, maka kebudayaan Islam hendaknya dapat diselaraskan dengan masing-masing masyarakat itu.
Lafran Pane meyakini, jika ajaran Islam dipraktikkan oleh rakyat Indonesia dalam segala lapangan hidup dengan sebaik-baiknya, Belanda tidak mungkin bisa menjajah dan mengekploitasi bangsa Indonesia dalam kurun waktu yang sangat lama. Penjajahan dimungkinkan karena Belanda mengetahui lemahnya pendidikan Islam pada mayoritas masyarakat Indonesia. Padahal Islam mengajarkan, semua manusia itu setara dan amat menentang perbudakan.
Oleh Yudi Latif dalam bukunya “Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad-20,” nama Lafran Pane disejajarkan dengan A. Tirtosudiro dan Juzdi Ghazali. Mereka oleh Yudi Latif disebut sebagai intelegensia Muslim Indonesia generasi ketiga, yang merupakan anak kandung revolusi kemerdekaan. Namun, setidak-tidaknya hari ini nama Lafran Pane dikenal oleh sekitar 400 ribu kader aktif HMI dan jutaan alumni HMI sebagai pemrakarsa berdirinya HMI. ***
E-mail: arismunandar.satrio@gmail.com
Artikel ini ditulis oleh: