Denpasar, Aktual.com – Ironis benar nasib garam asal Amed, Kabupaten Karangasem, Bali. Garam yang menjadi lahan mata pencarian warga sekitar nyaris punah lantaran lahan di lokasi setempat tergusur dan berubah menjadi sarana akomodasi industri pariwisata. Padahal, garam asal Amed yang diberi nama Garam Amed ini sudah turun temurun menjadi penghidupan masyarakat sekitar sejak ratusan tahun silam.
Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Garam Amed Bali, I nengah Suanda menuturkan, Garam Amed sudah ada sejak 1.500 tahun silam, kala Raja Karangasem pertama masih menjabat.
“Sejarahnya, menurut lontar kuno Desa Pakraman Culik, Raja Karangasem pertama mewajibkan masyarakat menyerahkan upeti berupa garam. Garam Amed memang garam yang berkualitas dan terus berlanjut memproduksi sampai kini. Tapi sekarang kondisinya hampir punah,” ucap Suanda saat ditemui di Desa Budaya Kertalangu, Sabtu (22/10).
Saat ini, kata dia, kondisi produksi Garam Amed sungguh memprihatinkan. Dulu, ia menjelaskan, dari timur hingga ke barat warga sekitar berprofesi sebagai petani garam.
“Sekarang tinggal 20 petani saja. Warisan budaya leluhur kami bisa hilang. Garam ini kan bagian hidup kita sehari-hari, maka kami membentuk kelompok. Ada perlindungan geografis, kami bisa memasarkan garam dengan lebih baik,” ujar dia.
Peredaran Garam Amed cukup lumayan, meski tak banyak dan tak begitu populer. Di Jakarta, Suanda melanjutkan, ada empat suplier yang memasarkan Garam Amed. Kendati begitu, di pulau asalnya sendiri, di Ibu Kota Provinsi Bali, Denpasar, baru hanya satu suplier yang mau memasarkan Garam Amed. Itu pun baru sejak tiga bulan lalu saja.
“Sebetulnya ada permintaan ekspor. Tapi kita tidak bisa memenuhi, karena tidak sewaktu-waktu bisa produksi,” papar Suanda. Dalam satu musim, petani garam di Amed hanya bisa memproduksi satu ton garam saja. “Jadi total hanya 20 ton garam saja yang bisa kami produksi dalam satu musim,” jelas dia.
Apalagi, alat produksi Garam Amed yakni palungan kelapa saat ini bersaing dengan bahan bangunan. “Jadi harganya sekarang cenderung mahal. Kunci permodalan untuk produksi itu yang menjadi kendala kami. Lahan juga. Sekarang (lahan) telah berkembang lahan pariwisata. Warga diiming-imingi harga tinggi akhirnya menjual lahan mereka. Lahan produksi Garam Amed berubah menjadi bangunan pariwisata. Itu juga kendala produksi dan keberadaan Garam Amed semakin tergerus,” ulas dia.
Ia menilai perlunya dukungan dari pemerintah untuk mempertahankan keberadaan Garam Amed. Utamanya, agar Garam Amed dapat menjadi bahan baku bagi hotel-hotel, minimal di sekitaran Karangasem, untuk menggunakannya sebagai bahan kebutuhan sehari-hari.
“Di Karangasem sudah ada hotel yang menggunakan Garam Amed. Jumlahnya sekitar 30 persen saja. Di Seminyak, Kuta juga ada hotel yang meminta garam kami. Tiap minggu mereka minta 10 kilogram,” katanya.
Kelebihan Garam Amed, Suanda mengimbuhkan, yakni dari segi rasa cenderung asin gurih. “Kelebihannya dari segi rasa, kalau garam lain ada rasa cenderung pahit menyengat, kalau ini tidak. Pecah di lidah, rasa asin gurih. Kami produksi menggunakan tanah, air laut yang telah dinetralisir,” ujarnya.
Ia menceritakan, proses produksinya setelah musim hujan usai, petani akan membersihkan rumput menjadi empat petak. Di tengah ada tinjung, lalu tanah di bawahnya disiram air laut secukupnya. Setelah kering di tunjung akan dipadatkan sedikit.
“Kasih lagi air laut menetes airnya. Pagi sekali dibawa ke palungan kelapa. Di sana jadi garam. Selama 4 hari kita panen,” jelas dia.
Ke depan, ia berharap seluruh hasil produksi petani dapat terserap di pasaran. “Satu musim kami memproduksi 20 ton. Kami berharap semua bisa terserap di pasaran,” demikian Suanda.
(Laporan: Bobby Andalan)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka