Yogyakarta, aktual.com – Selama sepuluh tahun terakhir, persentase penduduk lansia (lanjut usia) di Indonesia meningkat dari 7,57 persen pada 2012 dan menjadi 10,48 persen pada 2022.
Angka tersebut, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, diproyeksi akan terus mengalami peningkatan hingga mencapai 19,9 persen pada 2045.
Selanjutnya, terdapat delapan provinsi yang telah memasuki struktur penduduk menua, yaitu persentase penduduk lanjut usia yang lebih besar dari 10 persen. Kedelapan provinsi tersebut paling tinggi adalah DIY sebesar 16,69 persen.
“Kita kebanjiran usia tua.
Kalau yang menopang yang muda itu stunting, waduh berat sekali. Oleh karenanya, jangan sampai muncul generasi stunting. Generasi harus berkualitas supaya besok bisa mengurus orang tua-orang tua yang sehat.”
Hal itu dikemukakan Kepala BKKBN Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) saat BKKBN bersama Pemerintah Desa Kalirejo dan Pemerintah Kabupaten Kulonprogo, menyelenggarakan Kegiatan Sosialisasi dan KIE Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) dan Program Percepatan Penurunan Stunting (PPS) bagi Mitra di wilayah Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), bertempat di Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Baitunnajah, Desa Kalirejo, Sabtu (27/01/2024).
Menurut dokter Hasto, sapaan akrabnya, penduduk lansia di DIY paling banyak. Karena apa? karena mencegah banyaknya lansia tidak bisa. Apalagi harapan hidup manusia saat ini lebih panjang. Tapi mencegah bayi lahir bisa dilakukan.
“Kita bisa pakai alat atau obat kontrasepsi atau berKB untuk mencegah bayi lahir. Tapi kalau mencegah banyaknya lansia itu tidak mungkin. Kita pasti akan mengusahakan lansia panjang umur,” terang dokter Hasto.
Dokter Hasto juga menyebut jumlah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang juga banyak di DIY. “Sekarang ini dari 1000 orang dewasa yang ketawa sendiri, ngomong sendiri, ODGJ empat orang. Banyak itu,” sebut dokter Hasto.
Dokter Hasto menyatakan tekad BKKBN dalam membangun SDM. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Itu yang bagus. BKKBN tidak hanya meningkatkan kualitas keluarga, tapi juga harus meningkatkan kualitas badannya, dan juga jiwanya,” tambahnya.
Dokter Hasto juga mengungkap bahwa saat ini ada yang disebut ‘megalomania’. Sebuah karakter yang merasa diri paling hebat, tidak mau dikalahkan. “Itu ternyata termasuk gangguan jiwa ringan,” kata dokter Hasto.
Melihat kondisi yang berkembang, dokter Hasto menandaskan bahwa BKKBN dan berbagai elemen, termasuk masyarakat, hendaknya menjaga betul tidak hanya anak tidak stunting, tapi juga anak-anak agar sehat jiwanya untuk Indonesia yang makmur dan sejahtera, untuk mencapai Indonesia Emas di tahun 2045.
Risiko penyakit
Sementara Dr. dr. Riyo Kristian Utomo, MH. Kes, Tenaga Ahli BKKBN, menyampaikan terkait salah satu dampak dan kerugian stunting pada anak, yakni sering sakit-sakitan dan berdampak jangka panjang.
“Ya, stunting itu akan berdampak jangka panjang, salah satunya risiko penyakit jantung, penyakit cholesterol, dan lain-lain,” sebut Dokter Riyo.
Berdasarkan studi ilmiah diketahui orang yang punya penyakit jantung, gagal jantung, serangan jantung, diabetes, kolesterol dan lainnya ternyata saat lahir memiliki berat badan sangat rendah.
“Yang harus digaris bawahi, penyakit yang ada ketika sudah tua awalnya adalah berat badan lahir rendah,” tambah dokter Riyo.
Pada kesempatan yang sama hadir Kepala Dinas PMD Dalduk dan KB, Kulonprogo Drs. Ariadi, MMNIP, yang menyampaikan agar Tim Pendamping Keluarga (TPK) dapat mendampingi keluarga dengan ibu hamil atau keluarga yang menyusui sampai dengan keluarga yang memiliki anak umur di bawah dua tahun.
Ia juga mengedukasi para remaja tentang kesehatan reproduksi, persiapan pernikahan, dan persiapan untuk memiliki anak.
Hadir juga sebagai narasumber Ketua DPRD Kulonprogo, Akhid Nuryati, SE yang mengajak kepada seluruh undangan, apabila tidak ingin anaknya stunting, agar para ayah bisa mengurangi rokok dan cegah stunting dengan mengkonsumsi protein hewani.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain