Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto. ANTARA/Dokumentasi Pribadi

Jakarta, aktual.com – Direktur Pengembangan Big Data INDEF, Eko Listiyanto, menilai proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun depan masih sulit keluar dari kisaran 5 persen karena tidak sejalan dengan target pertumbuhan kredit yang relatif rendah. Ia menyoroti adanya ketidaksesuaian antara target pertumbuhan ekonomi yang disebut bisa mencapai 6 hingga 8 persen dengan target penyaluran kredit perbankan yang hanya berada di rentang 8–12 persen.

“Nggak match ya,” ujarnya, di Jakarta, Senin (29/12/2025).

Eko mengingatkan, pengalaman Indonesia selama era reformasi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen selalu ditopang oleh laju kredit yang jauh lebih tinggi. Ia mencontohkan periode 2010–2014 ketika pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5,5–6 persen, sementara pertumbuhan kredit bisa menembus 20–25 persen.

Menurutnya, kondisi saat ini berbeda karena pertumbuhan kredit justru berada di bawah 8 persen. “Jadi bagaimana ceritanya, pertumbuhan kredit 8 persen mau menghasilkan pertumbuhan ekonomi 6 persen. Data ini sulit dcerna,” kata dia.

INDEF, lanjut Eko, mengusulkan agar target pertumbuhan kredit setidaknya dinaikkan dua kali lipat atau minimal berada di level 15 persen agar ada ruang optimisme. Tanpa itu, ia menilai arah ekonomi tahun 2026 cenderung datar. “Ya sudah ekonomi tahun depan flat,” ujarnya.

Ia menyebut, jika target kredit hanya dipatok 7–12 persen, maka pertumbuhan ekonomi akan terus berada di sekitar 5 persen. Menurut Eko, kondisi ini berkaitan erat dengan struktur ekonomi Indonesia yang masih sangat bergantung pada sektor perbankan.

Sekitar 70 persen likuiditas ekonomi nasional, kata dia, bertumpu pada penyaluran dana perbankan ke sektor riil. Jika perbankan tidak menyalurkan kredit secara agresif, maka pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sulit tercapai. Ia membandingkan dengan Amerika Serikat yang lebih dinamis karena perekonomiannya ditopang sektor jasa, bukan semata aliran kredit perbankan.

“Di kita 70 persen dari ekonomi kita, likuiditasnya dihasilkan dari mengucur tidaknya dana perbankan ke sektor riil,” kata Eko.

Ia menegaskan, ketika Indonesia pernah mencatat pertumbuhan ekonomi mendekati 6 persen, sektor riil mendapatkan aliran kredit dengan laju sekitar 20 persen. Kondisi tersebut jauh berbeda dengan target saat ini yang hanya 8–12 persen, atau rata-rata sekitar 10 persen.

Dengan angka tersebut, Eko menilai harapan pertumbuhan ekonomi 6 persen menjadi tidak realistis. “Jatuh-jatuhnya pertumbuhan ekonomi (2026) akan 5 persen,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain