Jakarta, Aktual.com – Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) mengkritisi sikap kementerian lain yang justru banyak menerbitkan regulasi penghambat masuknya dana-dana investasi, terutama dari luar negeri atau penanaman modal asing (PMA).
Kondisi itu membuat pertumbuhan laju investasi khususnya untuk PMA di kuartal I-2017 relatif stagnan. Selain masalah fluktuasi, nilai tukar juga terhambat oleh adanya regulasi yang tak bersahabat.
“Dalam beberapa bulan ini, ada sebanyak 23 Permen (Peraturan Menteri) yang cenderung menyulitkan bisnis dan investasi. Padahal, Pak Presiden di Istana awal pekan lalu membahas secara serius. Bagi saya yang bagian dari pemerintah, deregulasi dan rasonalisasi perizinan itu penting sekali,” jelas Kepala BKPM, Thomas Lembong, di Jakarta, Rabu (26/4).
Menurut Lembong, masalah pertama PMA yang lajunya stagnan di Kuartal I-2017 ini karena masalah kurs atau nilai tukar. Rupiah sering melemah sehingga nominalnya jadi sedikit.
“Risiko yang utama adalah karena masih kendornya semangat deregulasi dan masih berkurangnya momentum reformasi ekonomi,” keluh dia.
Pihaknya mencatat, dalam tempo 4-5 bulan terakhir, di saat pemerintah pusat tengah gencar melakukan deregulasi, namun ternyata banyak lahir regulasi baru dan aturan perizinan baru.
“Bukannya mengurangi atau menyederhanakan regulasi, malah menambah regulasi yang menghambat investasi,” kritik Lembong.
Untuk itu, kata dia, perlu ada perhatian serius dan istimewa dari pemerintah agar semangat deregulasi tak lagi kontraproduktif.
“Masalah selanjutnya memang kondisi yang terjadi di negara asal. Beberapa negara yang menurunkan investasinya. Tapi khsusus untuk China kami mencatat pertumbuhannya kian tinggi. Tapi sayangnya karena masalah regulasi yang menghambat kita masih kalah dari negara tetangga (untuk menarik investor China),” tandas dia.
Jika dilihat dari negara asal, dalam lima besar investasi dari Singapura masih yang tertinggi mencapai US$ 2,1 miliar atau 28,2 persen. Kemudian Jepang (US$ 1,4 miliar atau 19,2 persen), China dan Amerika Serikat yang sama-sama mencapai US$ 600 juta atau 8,2 persen, dan Korea Selatan (USD400 juta atau 5,8 persen).
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka