Jakarta, Aktual.com — Mantan Menteri Negara (Eks Menag) BUMN, Laksamana Sukardi merampungkan pemeriksan penyidik pidana khusus Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi penggunaan Menara BCA dan Apartemen Kempinski.
Menteri era Presiden Megawati Soekarnoputri tersebut diperiksa soal kerugian negara akibat kontrak ‘build, operate, transfer’ (BOT) antara PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) anak usaha Djarum. Yang memiliki sebagian besar saham ini yaitu PT Grand Indonesia (GI) selaku BUMN.
Laksamana Sukardi sudah dua kali diperiksa dalam sengkarut ‘Rasuah’ tersebut. Ia sebelumnya juga sudah sempat diperiksa di awal Maret 2016. Namun demikian, Kejagung belum juga menetapkan sebagai tersangka.
Laksamana Sukardi diperiksa pada Senin (18/04) sejak pukul 09.30 WIB hingga pukul 17.00 WIB (atau lebih kurang selama tujuh setengah jam).
Ia keluar dengan pakaian serba putih dan langsung meninggalkan Gedung Bundar dan tidak mau (ogah) menjawab pertanyaan awak media yang telah berjam-jam menunggunya.
Kasus ini bermulai saat pemilik sebagian besar saham PT GI, PT CKBI menjadi pemenang lelang pengeloaan kawasan Hotel Indonesia, Jakarta dengan sistem kontrak ‘build, operate, transfer’ (BOT) kawasan Hotel Indonesia selama 30 tahun sejak 2004.
Kemudian, sesuai kontrak tersebut PT Grand Indonesia membangun satu Hotel bintang lima, dua pusat perbelanjaan, dan satu fasilitas parkir di kawasan Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta.
Namun diketahui PT CKBI justru membangun dan mengelola Menara BCA dan Apartemen Kempinski Residence yang tidak tercantum dalam kontrak BOT tersebut.
Di dalam kontrak itu diduga negara juga dirugikan dengan adanya perpanjangan kontrak tanpa melakukan penghitungan secara benar.
Akibatnya dari perpanjangan kontrak yang menjadi 50 tahun itu Kejagung menduga negara mengalami kerugian sebesar Rp1,2 triliun.
Angka tersebut masih bersifat sementara (tentative) dan masih dalam penghitungan. Namun pihak PT GI membantah keras bahwa pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski melanggar hukum dan merugikan keuangan negara sebesar Rp1,2 triliun.
Sebab dalam kontrak BOT terdapat kata ‘antara lain’ dan ‘bangunan-bangunan lainnya’, sehingga PT GI dimungkinkan untuk membangun gedung perkantoran dan apartemen.
Artikel ini ditulis oleh: