Jakarta, aktual.com – Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, menyatakan penolakan keras terhadap rencana pemerintah menyeragamkan kemasan rokok, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Menurutnya, kebijakan ini berpotensi menghilangkan identitas merek yang secara hukum dilindungi.
“Penggunaan identitas merek itu sah secara hukum karena dilindungi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis,” ujar Benny dalam pernyataan di Jakarta, baru-baru ini. Ia menekankan, dalam UU tersebut disebutkan bahwa merek dapat ditampilkan secara grafis melalui gambar, logo, huruf, angka, maupun susunan warna.
Dengan demikian, menurut Benny, kebijakan penyeragaman kemasan rokok—yang mengarah pada kemasan polos atau pembatasan warna dan desain—merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual pelaku industri.
“Jika seluruh kemasan diseragamkan, konsumen akan kesulitan membedakan satu merek dengan yang lain, meskipun nama merek tetap dicantumkan dalam ukuran kecil,” ujarnya.
Benny juga menilai kebijakan tersebut tidak tepat bila dibandingkan dengan negara-negara seperti Malaysia dan Singapura yang telah menerapkan kemasan polos. Menurutnya, kondisi Indonesia sangat berbeda, mengingat Indonesia memiliki industri tembakau yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
“Kita punya kebun tembakau, kita punya kebun cengkeh, kita punya industri yang banyak. Jangan disamakan,” tegasnya.
Lebih jauh, Benny mengkritisi kewenangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang dinilainya telah melampaui batas, terutama dalam pengaturan kemasan rokok. Ia menegaskan bahwa Kemenkes tidak memiliki mandat eksplisit untuk mengatur aspek kemasan selain peringatan kesehatan bergambar.
Menanggapi draf regulasi yang mengatur penyeragaman tersebut, Benny mengungkapkan bahwa pelaku usaha hingga kini belum menerima draf final, dan versi awal yang diterima menunjukkan kecenderungan menuju kebijakan kemasan polos. Bahkan jika aturan hanya membatasi warna, lanjutnya, tetap merupakan pelanggaran terhadap hak cipta industri.
“Di dalam kemasan itu terkandung desain dan hak cipta. Warna pun bisa menjadi hak cipta. Jadi bukan hanya soal estetika, ini soal hukum,” tandasnya.
Gaprindo pun mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini, agar tidak merugikan industri nasional yang telah berkontribusi besar terhadap perekonomian dan penyerapan tenaga kerja.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano

















