Jakarta, Aktual.com – Pendiri Perhimpunan Negarawan Indonesia (PNI), Johan O Silalahi mengungkapkan bahwa Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dianggap terlalu ikut campur pada Pemilu 2024. Pernyataan Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa presiden boleh memihak dan berkampanye dinilai sebagai sikap terlalu ikut campurnya Jokowi dalam urusan Pemilu 2024.
“Presiden Jokowi semakin tergelincir dalam ambisi dan kerakusan pada harta, tahta dan kekuasaan, karena lebih mementingkan kepentingan keluarganya dan kelompoknya,” ujar pendiri Perhimpunan Negarawan Indonesia (PNI), Johan O Silalahi, dalam “Focus Group Discussion (FGD): Cawe-Cawe Presiden Jokowi, Melanggar Hukum dan Konstitusi UUD 45?” di Jakarta, Kamis (1/4/2024).
Menurut Johan, skandal Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi salah satu bukti nyata bahwa Presiden Joko Widodo patut diduga sudah melanggar aturan hukum dan perundang-undangan, serta melanggar konstitusi UUD 45 dan Sumpah Jabatan Presiden yang diatur dalam Pasal 9 sehingga pantas dimakzulkan.
Presiden Jokowi, lanjut Johan, patut diduga juga telah melanggar beberapa aturan hukum dan perundangan-undangan antara lain pada tiga hal berikut. Pertama, Presiden Jokowi patut diduga melanggar UU No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) Dalam Skandal Putusan 090/PUU-XXI/2023 Mahkamah Konstitusi (MK).
Secara otomatis, sambung Johan, Presiden Jokowi patut diduga telah melanggar aturan dalam UU No 28 Tahun 1999 Pasal 22 yang berbunyi: “Setiap Penyelenggara Negara yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 4 dan 5, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 milyar rupiah.”
Johan menegaskan, dalam kaitan ini dapat didefinisikan bahwa “nepotisme” adalah setiap perbuatan “Penyelenggara Negara (Presiden Jokowi)” secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya (putra Presiden Jokowi yang menjadi calon wakil presiden, Gibran Rakabuming Raka) dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
“Kedua, Presiden Jokowi patut diduga melanggar UU No.7 Tahun 2017 atau UU No.7 Tahun 2023 Tentang Pemilu dan Pilpres,” cetus Johan.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyatakan secara terbuka bahwa ia sebagai presiden dapat melakukan kampanye. Padahal jelas sesuai aturan hukum dalam UU No.7 Tahun 2017 yang dimaksudkan aturan dalam Pasal 299 bahwa presiden dan wakil presiden dapat berkampanye, dikaitkan dengan aturan dalam Pasal 301 bahwa presiden dan wakil presiden bisa berkampanye dalam hal maju lagi sebagai capres dan/atau cawapres untuk periode kedua, sesuai aturan dalam konstitusi UUD 45.
Johan menambahkan, patut diduga Presiden Jokowi juga telah melanggar konstitusi UUD 45 pasal 22 E ayat 1, yaitu pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, serta melanggar UU No.7 Tahun 2017 pasal 306 ayat (2). “Presiden Jokowi patut diduga seolah-olah ingin menarik TNI/Polri supaya tidak independen dan memihak karena mengumumkan pernyataan bahwa presiden dan wakil presiden berhak berkampanye pada saat melaksanakan kegiatan bersama para petinggi TNI bahkan menggunakan pakaian dan atribut yang sama dengan para petinggi TNI.”
Dan yang ketiga, lanjut Johan, Presiden Jokowi patut diduga melanggar Konstitusi UUD 45 Terkait Perintah Kepada Menteri Pertahanan guna Membelanjakan Anggaran 25 Tahun untuk Alutsista dan Melanggar UU No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Terkait Perintah Kepada Menteri Pertahanan Untuk Melakukan Pinjaman/Utang Luar Negeri, Terkait Pengadaan Alutsista.
“Kekuasaan presiden dibatasi hanya untuk maksimal 2 periode seperti yang telah diatur dalam pasal 7 UUD 45. Artinya Presiden Jokowi hanya bisa dan boleh menggunakan anggaran dan budget APBN selama jangka waktu 2 periode masa jabatan presiden sesuai aturan konstitusi UUD 45,” ungkap Johan.
Pada kesempatan yang sama, pakar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar atau Ucenk menyatakan, tindakan cawe-cawe atau ikut campurnya presiden tidak pernah terlihat sejak memasuki era reformasi di mana presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
“Fakta terlalu cawe-cawenya Jokowi dalam penyelenggaran pemilu kali ini sudah sangat bertebaran dan terang benderang. Dari mulai bansos dengan stiker Prabowo-Gibran, kasus paman Usman di MK hingga momen ketika Jokowi berbicara dengan latar belakang atribut TNI ketika menyerahkan pesawat sebagai alutsista bagi TNI. Dalam momen tersebut seakan-akan Jokowi ingin menegaskan bahwa aparat negara berada di belakangnya,” kata Ucenk.
Sikap dan tindakan Presiden Jokowi ini, menurut Ucenk, dipicu oleh tindakan rakyat sendiri yang selama ini terlalu menyokong segala tindak dan sikap Jokowi. “Harusnya kita berani melakukan pengakuan dosa,” ucap dia.
Menurut Uceng, mengapa Jokowi bisa sampai gigantis seperti ini karena rakyat tidak melakukan pengawasan yang ketat. DPR tidak menjalankan fungsinya dengan benar hingga presiden memiliki kekuasaan yang sangat kuat dan mengarah pada orotitarian. “Hingga dengan mudahnya Presiden Jokowi menabrak dan melanggar hukum konstitusi,” jelas dia.
Banyaknya hukum konstitusi yang dilanggar Presiden Jokowi, lanjut Uceng, sebenarnya sudah bisa menjadi alasan kuat untuk melakukan pemakzulan kepada presiden. “Seandainya DPR mau menggunakan hak menyatakan pendapat atau minimal hak angketnya, proses impeachment kepada presiden bisa dilakukan,” tegas dia.
Masih menurut Ucenk, konstitusi memungkinkan DPR sebagai satu-satunya lembaga yang dapat mengusulkan pemberhentian presiden kepada MPR dan MPR adalah satu-satunya kekuasaan yang dapat memberhentikan presiden dan wakil presiden. “Meski melalui pemeriksaan di MK, secara teknis usulannya adalah 2/3 dari anggota DPR dan disetujui oleh 2/3 yang hadir.”
Hanya saja, selama ini Ucenk melihat adanya ketidakmampuan atau ketidakmauan dari partai-partai politik yang ada DPR untuk melakukannya. Karena itu, Ucenk menyarankan untuk melakukan “Pemincangan Kekuasaan”. Yakni melakukan pembatasan kekuasaan presiden di masa-masa menjelang akhir jabatannya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka