Jakarta, Aktual.com — Menjelang berakhirnya Nota Kesepahaman (MoU) pada 24 Januari 2016 mendatang, yang memberikan izin melakukan ekspor konsentrat antara Kementerian ESDM dengan PT Freeport Indonesia, menjadi hal yang dinanti-nantikan publik.

Publik bertanya-tanya apakah pemerintah akan memperpanjang masa berlaku MoU tersebut, yang disinyalir melanggar Undang-Undang (UU) seperti yang dikatakan Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Satya Widya Yudha bahwa dalam UU Minerba tidak ditemukan klausul relaksasi seperti MoU tersebut.

“Dalam UU Minerba tidak ada klausul tentang relaksasi atau keringanan dalam membangun smelter dan kemudian memperbolehkan ekspor konsentrat,” tulisnya melalui pesan elektronik kepada aktual.com pada Senin (11/1).

Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa pembangunan smelter berdasarkan UU Minerba paling lambat dibangun pada tanggal 31 Desember 2014, sehingga jika tidak dilaksanakan dan tetap mengekspor konsentrat maka terjadi pelanggaran atas UU Minerba tersebut.

Untuk itu ia menyarankan pemerintah mengeluarkan Perppu agar kebijakan yang dijalankan memiliki landasan payung hukum.

“Maka pemerintah harus segera keluarkan Perppu agar semua kebijakan yang dikeluarkan mempunyai payung hukum yang kuat,” tukasnya.

Selain itu ia juga menyampaikan bahwa progres divestasi juga sudah molor dari kesepakatan. Molornya proses divestasi maka mengakibatkan molornya kesempatan nasional untuk berpartisipasi dalam industri di Freeport.

Sehingga mengakibatkan hilangnya kesempatan dari pihak Indonesia untuk menikmati keuntungan yang didapat melalui kepemilikan saham dari hasil divestasi.

Seperti yang diketahui, disepakatinya MoU ini karena ada komitmen atas Freeport untuk mendorong kewajiban divestasi sebesar 30 persen saham dan membangun smelter yang akan memurnikan barang mineral hasil galian.

Dalam prosesnya, kewajiban divestasi saham Freeport dilakukan melalui dua tahap, tahap pertama sebesar 11 persen, dan tahap kedua mencapai keseluruhan 30 persen.

Namun disayangkan, jangankan untuk melakukan divestasi tahap kedua, tahap pertama saja divestasinya belum terpenuhi. Semestinya divestasi tahap pertama sudah dilakukan pada 14 Oktober 2015. Diketahui bahwa saat ini saham kepemilikan Indonesia baru mencapai 9,46 persen dari seharusnya 30 persen.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan