Jakarta, aktual.com – Para pemimpin Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) telah sepakat untuk membentuk satuan tugas ad hoc untuk membantu proses repatriasi pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar.
Kesepakatan tersebut dicapai dalam Pertemuan Pleno Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-35 ASEAN di Nonthaburi, Thailand pada awal November lalu yang dihadiri para kepala negara/pemerintahan 10 negara anggota, termasuk Presiden RI Joko Widodo.
Satgas ad hoc akan bekerja di bawah Sekretariat ASEAN untuk mengawasi pelaksanaan rekomendasi penilaian kebutuhan awal (preliminary needs assessment/PNA) berdasarkan laporan tim Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan (AHA Centre) bersama Tim Tanggap Darurat dan Penilaian ASEAN (ERAT).
“PNA lebih banyak dilakukan oleh AHA dan ERAT, tetapi kita perlu satu unit di ASEAN Secretariat untuk memantau penuh implementasi dari rekomendasi. Karena itu para leaders sudah menyepakati akan dilakukan pendirian ad hoc task force di ASEAN Secretariat,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Menurut Menlu Retno, Indonesia memandang penting pembentukan satgas itu agar kemajuan tindak lanjut rekomendasi berupa aktivitas dan proyek prioritas dapat segera dilakukan guna memastikan repatriasi yang bersifat sukarela, aman, dan bermartabat bagi warga Rohingya.
Satgas tersebut akan beranggotakan para ahli yang ditentukan oleh Sekretaris Jenderal ASEAN, dengan terlebih dahulu mengonsultasikan kepada seluruh negara anggota.
Pada Maret 2019, tim dari ASEAN-ERAT dan AHA Centre telah mengunjungi Rakhine State untuk melakukan penilaian awal dan kesiapan Myanmar menangani kembalinya para pengungsi Rohingya.
Rekomendasi yang dihasilkan oleh tim tersebut mencakup empat komponen utama, yaitu keselamatan fisik, keamanan material, pendaftaran Rohingya, serta penyatuan sosial (social cohesion), untuk mencegah berulangnya konflik horisontal di Myanmar.
Meskipun rekomendasi telah dihasilkan dan upaya repatriasi telah dua kali dicoba dilaksanakan, belum ada pengungsi Rohingya yang kembali ke Rakhine State dengan sukarela.
Situasi keamanan yang belum kondusif disebut sebagai salah satu faktor utama yang menghambat repatriasi.
“Masih ada masalah antara militer Myanmar dan Arakan Army. Tidak ada orang yang mau terlibat dalam konflik seperti itu,” kata Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kemlu Jose Tavares.
Berdasarkan data yang dirilis Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UN OCHA), kekerasan di Rakhine State meningkat signifikan sejak akhir 2018 setelah pecahnya konflik bersenjata antara militer Myanmar dan Arakan Army yang disebabkan serangan terhadap situs militer oleh para pelaku gerakan separatis itu.
Konflik itu menyebabkan korban sipil dan perusakan properti yang telah menyebar ke sembilan kota di Rakhine State.
Menurut pemerintah Rakhine, sebanyak 30.235 orang saat ini mengungsi di lokasi sementara di negara bagian tersebut. Pada saat yang sama, sebanyak 128.000 orang yang kehilangan tempat tinggal, yang sebagian besar diantaranya adalah warga Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan, tetap terkurung di kamp-kamp sejak 2012.
Mereka, serta sebagian besar dari perkiraan tambahan 470.000 warga Rohingya yang tidak kehilangan tempat tinggal dan orang-orang yang terkena dampak krisis lainnya di Rakhine State, terus membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Situasi keamanan yang semakin memburuk di sebagian besar wilayah di Rakhine State karena konflik yang sedang berlangsung semakin merusak penciptaan kondisi yang kondusif bagi repatriasi sukarela, aman, bermartabat, dan berkelanjutan bagi lebih dari 700.000 pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh sejak Agustus 2017.
Respons Myanmar
Pemerintah Myanmar menyambut baik pembentukan satgas ad hoc yang dinilai sebagai upaya ASEAN untuk fokus menangani isu Rakhine State, jika tidak mau dikatakan sebagai isu Rohingya karena otoritas Myanmar sendiri menolak penyebutan etnis Muslim tersebut.
Namun, Wakil Tetap Myanmar untuk ASEAN U Min Lwin berdalih bahwa faktor keamanan bukan kendala utama proses repatriasi. Pasalnya, konflik antara militer Myanmar dan Arakan Army lebih banyak terjadi di bagian selatan Rakhine State, sedangkan permukiman warga Rohingya terletak di bagian selatan negara bagian itu.
Lwin justru menyebut “masih banyak isu yang rumit” meskipun Myanmar dan Bangladesh telah memiliki kesepakatan untuk memulangkan para pengungsi dari kamp-kamp di Cox’s Bazar ke Rakhine State.
Menurut dia, Myanmar telah melakukan semua yang dibutuhkan termasuk di antaranya menyiapkan akomodasi dan pusat transit di perbatasan untuk memfasilitasi kembalinya para pengungsi, tetapi tidak demikian halnya dengan Bangladesh.
“Jika repatriasi dimulai, maka prosesnya akan sangat lancar. Tetapi ada sejumlah elemen yang mereka (Bangladesh) tidak inginkan proses ini terjadi. Banyak agenda tersembunyi,” kata Lwin tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai “agenda tersembunyi” yang dia maksud.
Sebaliknya, Lwin menyatakan bahwa Myanmar siap menerima kembalinya para pengungsi termasuk menyelesaikan isu kewarganegaraan berdasarkan aturan hukum yang berlaku di negara tersebut, yakni Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan 1982.
Di bawah UU itu, akses kewarganegaraan penuh — terutama didasarkan pada keanggotaan salah satu dari “ras nasional” — secara resmi ditetapkan oleh negara.
Namun, UU tersebut tidak memasukkan etnis Rohingya dalam 135 ras yang diakui secara nasional dan telah mengecualikan sebagian besar populasi Muslim Rakhine State dari sejarah Myanmar.
“Berdasarkan UU 1982, seseorang yang tinggal di Myanmar tidak bisa begitu saja mendapat status kewarganegaraan. Mungkin generasi selanjutnya bisa menjadi warga Myanmar, tetapi bukan warga asli,” kata Lwin, yang lebih nyaman menyebut warga Rohingya sebagai etnis Bengali.
Meskipun mengaku siap bekerjasama dengan berbagai pihak termasuk ASEAN, Lwin menyatakan Myanmar akan sangat berhati-hati dalam proses repatriasi pengungsi.
“Kami ingin orang-orang yang meninggalkan Myanmar kembali, bukan menerima orang-orang baru,” kata dia.
“Negara kami juga bukan negara yang kaya sehingga kami tidak bisa menerima semua orang dan menyediakan penghidupan bagi mereka,” Lwin melanjutkan.
Tidak dilibatkan
Di sisi lain, Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum justru mempertanyakan pembentukan satgas ad hoc yang baru karena dia menilai mekanisme sebelumnya — melalui ASEAN-ERAT dan AHA Centre — sudah bisa mengakomodasi fungsi ASEAN untuk membantu pemulangan pengungsi Rohingya.
“Sebetulnya yang kita butuhkan sekarang bukan mekanisme baru, tetapi sebuah sistem yang memungkinkan pemulangan dengan sukarela, aman, dan bermartabat. Kalaupun ada mekanisme untuk memonitor harusnya diserahkan kepada AICHR,” kata Yuyun kepada ANTARA.
Namun, lanjut dia, AICHR justru tidak mendapat mandat untuk ikut menangani repatriasi Rohingya, dan komisi HAM antarpemerintah ASEAN itu bahkan terkesan “tidak dilibatkan dan dijauhkan dari isu Rohingya”.
“Padahal, untuk memonitor pelaksanaan pemulangan maka tidak ada institusi yang lebih pas kecuali AICHR,” ujar dia.
Sebaliknya, Yuyun menilai yang paling memegang peran kunci untuk merepatriasi pengungsi Rohingya tetap pemerintah Myanmar dan Bangladesh, dengan bantuan ASEAN.
Terkait hal itu, pemerintah Myanmar harus bisa memastikan bahwa kepulangan warga Rohingya harus diikuti dengan jaminan kebebasan beragama, kebebasan bertindak, dan kebebasan untuk memiliki penghidupan atau mata pencaharian.
“Kalau itu tidak dijamin ya mereka (warga Rohingya) tidak mau pulang,” ujar dia.
Selain itu, Yuyun menegaskan bahwa kewarganegaraan menjadi isu paling krusial yang harus diselesaikan oleh pemerintah Myanmar karena tanpa status kewarganegaraan yang jelas, warga Rohingya tidak akan mendapat hak-hak dasarnya.
Saat ini, pengungsi Rohingya yang mendiami kamp-kamp di Cox’s Bazar, terancam dipindahkan ke sebuah pulau oleh pemerintah Bangladesh.
Dhaka ingin memindahkan 100.000 pengungsi ke Bhasan Char, sebuah pulau rawan banjir di Teluk Bengal, untuk mengurangi kepadatan di kamp-kamp Cox’s Bazar.
“Kami ingin memulai relokasi awal bulan depan,” kata Mahbub Alam Talukder, ketua Komisi Relief and Repatriation yang berbasis di Cox’s Bazar, kepada Reuters, seraya menambahkan bahwa “para pengungsi akan dipindahkan secara bertahap”.
“Para pejabat kami menyusun daftar para pengungsi yang bersedia pindah ke sana,” katanya, seraya menambahkan bahwa sebanyak 7.000 pengungsi telah setuju untuk dipindahkan.
Beberapa kelompok hak asasi manusia telah menyatakan keprihatinan atas rencana pemidahan para pengungsi karena pulau itu terpencil dan rentan hancur akibat topan. Banyak pengungsi menentang langkah itu, yang dikhawatirkan oleh beberapa pakar HAM dapat memicu krisis baru.
Bangladesh yang berpenduduk padat telah bergulat dengan sejumlah besar pengungsi, dengan masyarakat setempat berbalik memusuhi Rohingya setelah upaya kedua yang gagal untuk mengirim ribuan orang kembali ke Myanmar pada Agustus 2019. [Eko Priyanto]
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin