Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (kanan) dan Juru bicara KPK Febri Diansyah (kiri) memberikan keterangan tentang penetapan tersangka kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/4/2017). KPK menetapkan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka yang diduga telah melakukan perbuatan merugikan keuangan negara sebesar Rp3,7 triliun. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Kebijakan Komisi Pemberantasan Korupsi yang mentersangkakan ketua BPPN hanya berdasarkan Surat Keterangan Lunas dalam kasus BLBI diperanyakan.

“Dalam proses pengeluaran SKL yang dikeluarkan oleh BPPN. Secara aturan perundang-undangan, BPPN tidak mungkin begitu saja mengeluarkan SKL,” kata Praktisi hukum Alfons Loemau melalui keterangan tertulisnya, Selasa (2/5).

“Pasti ada payung hukumnya, karena BPPN sebagai lembaga yang ditunjuk menjadi pelaksana penyehatan perbankan nasional, bertanggungjawab terhadap Menteri BUMN dan KKSK Komite Kebijakan Sektor Keuangan.”

Disamping itu, kata dia, KKSK juga bertanggungjawab kepada Presiden, dan Presiden menjalankan amanat MPR.
Alfons menilai, sepanjang kebijakan penerbitan SKL untuk kepentingan negara dan memberikan dampak yang menguntungkan, tidak bisa dipersalahkan.

“Dampak kebijakan tersebut juga harus dilihat, apakah memberikan kontribusi yang positif kepada perekonomian nasional.”

Selain itu, terang dia, Kondisi perekonomian pada saat tahun 2004, ketika kebijakan tersebut muncul, masih belum sepenuhnya pulih dari krisis. Baru, kata dia, Setelah selesainya tugas BPPN, dan bank-bank yang sakit, disehatkan pelan tapi pasti ekonomi mulai bergulir, sektor keuangan mulai pulih, sektor riil juga menggeliat.

Perekonomian negara yang tadinya terpuruk mulai bergairah kembali. “Jadi kita harus melihat situasi dan kondisi pada saat itu, latar belakang lahirnya kebijakan yang bersumber pada UU No 25 Propenas tahun 2000 (Program Pembangunan Nasional),” kata mantan perumus Undang-Undang Anti Korupsi tersebut.

Menurutnya, konsep kebijakan tidak bisa serta merta dilihat kontemprorer, namun harus dilihat pada situasi dan kondisi pada saat kebijakan dilahirkan.

“Kebijakan merupakan strategi untuk mencapai tujuan. Sejauh kebijakan tersebut sesuai dengan UU. Sebaliknya jika kebijakan SKL bertentangan dengan UU baru dinyatakan bersalah. Bertentangan dengan peraturan diatasnya baru bisa dipersalahkan.”

Sebab, ungkap dia, hal senada juga disampaikan oleh Rizal Ramli, mantan Menteri Koordintor Bidang Ekonomi dan Industri, era tahun 2001, yang ikut menggodok kebijakan penanganan kasus BLBI, mengatakan perlunya pemahaman terhadap lahirnya suatu kebijakan pemerintah khususnya sektor ekonomi.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu