Jenderal Pol Tito Karnavian menuding Aksi Bela Islam III pada 2 Desember mendatang telah direncanakan untuk melakukan makar dengan mengusai Gedung MPR RI. (ilustrasi/aktual.com - foto/antara)
Jenderal Pol Tito Karnavian menuding Aksi Bela Islam III pada 2 Desember mendatang telah direncanakan untuk melakukan makar dengan mengusai Gedung MPR RI. (ilustrasi/aktual.com - foto/antara)

Jakarta, Aktual.com – Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alghiffari Aqsa menilai, larangan melakukan aksi pada 2 Desember 2016 merupakan kemunduran di era reformasi, bahkan juga ancaman terhadap demokrasi.

“Dalam demokrasi, justru aparat keamanan yang lebih sering melakukan pelanggaran hukum. Contohnya tindakan pembubaran paksa aksi demonstrasi buruh pada 30 Oktober 2015,” kata Ghiffari dihubungi di Jakarta, Rabu (23/11).

Saat membubarkan aksi buruh 30 Oktober 2015 itu, polisi menangkap 23 aktivis buruh, satu mahasiswa dan dua pengabdi hukum LBH Jakarta. Selain membubarkan paksa, Ghiffari menilai polisi juga melakukan kekerasan dengan memukul para aktivis, termasuk empat buruh perempuan dan merusak mobil komando serikat buruh. Padahal, saat itu aksi dilakukan dengan damai.

“LBH Jakarta mengapresiasi Polri atas larangan provokasi yang mengarah kepada sentimen terhadap suku, agama, ras dan antargolongan. Ujaran kebencian dan sentimen SARA yang mengarah pada serangan kepada etnis tertentu merupakan tindakan yang bertentangan dengan semangat demokrasi.”

Menurut Ghiffari, sudah sepatutnya kepolisian melakukan tindakan tegas terhadap ujaran kebencian dan sentimen SARA. Surat edaran Kapolri tentang ujaran kebencian sudah seharusnya diterapkan.

“Namun, bukan berarti harus melarang keseluruhan aksi demonstrasi.”

Disisi lain, Kepala Polri Jenderal Polisi Tito Karnavian telah mengeluarkan pernyataan melarang aksi lanjutan pada 2 Desember 2016. Kepala Polda Metro Jaya Irjen Polisi Mochamad Iriawan juga telah mengeluarkan maklumat Mak/04/XI/2016 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu