Jakarta, Aktual.com — Pengamat hukum dari Universitas Mataram Muhammad Nasir menilai larangan menangkap benih lobster ukuran tertentu yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, menimbulkan “Kriminogen” atau suatu faktor yang menyebabkan munculnya tindak pidana baru.
“Kalau kebijakan itu menimbulkan keresahan masyarakat kan itu menjadi “Kriminogen,” kata Muhammad Nasir, di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (13/6).
Kementerian Kelautan dan Perikanan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 1/Permen-KP/2015, tentang Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan.
Di dalam pasal 3 Permen-KP tersebut dijelaskan bahwa penangkapan lobster, kepiting dan rajungan dapat dilakukan dengan ukuran yakni panjang karapas lebih dari delapan centimeter untuk lobster, kepiting lebar karapas lebih dari 15 centimeter, dan rajungan dengan ukuran karapas lebih dari 10 centimeter.
Sementara nelayan di Lombok lebih banyak menangkap benih lobster di bawah ukuran delapan centimeter sesuai dengan permintaan eksportir.
Menurut Nasir, Menteri KP harus mengkaji ulang aturan yang dikeluarkannya karena belum menyosialisasikan kepada masyarakat secara menyeluruh.
“Mestinya jangan dulu menerapkan aturan. Lakukan sosialisasi, mana keuntungan, mana kerugian, mana kelemahan dan mana keuntungan dari aturan tersebut,” ucapnya.
Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) NTB ini, menambahkan sebagian masyarakat pesisir di selatan Pulau Lombok selama ini hidup dari benih lobster, namun tiba-tiba dilarang melakukan penangkapan disertai larangan ekspor.
Sebelum menerapkan aturan, lanjut Nasir, semestinya KKP sudah menyiapkan rencana pengalihan dari mereka yang biasa menangkap benih lobster ke jenis pekerjaan baru.
“Jangan mematikan. Prinsipnya pemerintah itu melayani dan mensejahterakan rakyat,” ujarnya.
Ia mengatakan di dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, menyebutkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Oleh sebab itu, jika tidak ada upaya pemberdayaan dan pengalihan pekerjaan pokok masyarakat yang menguntungkan bagi mereka berpotensi terjadi kriminalitas baru di wilayah Lombok bagian selatan.
Kondusifitas daerah selatan Lombok, menurut Nasir, sangat tergantung pada situasi. Jika kebiasan masyarakat terganggu, potensi konflik tinggi.
“Tinggal tunggu pemicu jadi. Nah apakah itu yang ingin dilakukan pemerintah cq KKP,” katanya.
Dalam mengeluarkan aturan, lanjutnya, semestinya Menteri KP memahami budaya masyarakat, karena kultur budaya masyarakat di Lombok bagian selatan dengan di pulau lain berbeda.
Terlebih, kata dia, kantong kemiskinan terbesar di NTB, berada di kawasan pesisir, selain di pinggir kawasan hutan.
“Kebijakan di sektor kelautan dan perikanan mestinya mencontoh kebijakan bidang pariwisata. Kan pariwisata itu harus memahami kearifan lokal, tidak digeneralisir begitu saja,” ucap Nasir.
Artikel ini ditulis oleh: