Jaksa Agung Muhammad Prasetyo (kedua kanan) bersama dengan Jaksa Agung Republik Turki Halil Yilmaz (kedua kiri) melambaikan tangan usai mengadakan pertemuan tertutup di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (24/5). Selain membahas tentang sistem peradilan di Indonesia, pertemuan tersebut juga bertujuan untuk mewujudkan kerja sama dalam bidang hukum. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pd/16

Jakarta, Aktual.com – Selama dipimpin Muhammad Prasetyo, Kejaksaan Agung dianggap tidak memiliki roh dalam menegakkan hukum di tanah air. Dia pun dinilai tak pantas mengemban jabatan sebagai pentolan Korps Adhyaksa.

Direktur Centre Fot Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi berpendapat, bahwa Prasetyo telah gagal memimpin Kejaksaan. Hal itu lantaran, ada bayangan politik yang menghantui setiap keputusannya.

“Jadi kegagalan ini juga disebabkan latar belakang Jaksa Agung yang dari parpol. Itu juga yang bikin dia tidak bisa leluasa bergerak untuk penegakan hukum, sehingga seharusnya dia bergerak lurus tapi dia ke kanan, ke kiri,” papar Uchok, saat dihubungi, Minggu (17/7).

Bagaimana kinerja Prasetyo, menurut Uchok harus jadi pertimbangan Presiden Joko Widodo. Dia menyarankan agar Jokowi tidak lagi memakai jasa politikus Partai Nasdem itu.

Sebab Uchok juga melihat, tak hanya soal pola kepemimpinannya dan pribadi Prasetyo. Sejak ditukangi anak buah Surya Paloh, sambung dia, Kejagung seperti jadi lembaga yang tidak memiliki ‘arah’.

“Harus dipertimbangkan lagi, harus orang profesional yang duduki Jaksa Agung, bukan orang partai politik. Iya diganti, ngapain mempertahankan yang kaya gini, nggak jelas,” pungkasnya.

Seperti diwartakan sebelumnya, Komisi Kejaksaan (Komjak) melihat adanya sistem yang tidak berjalan ketika Kejaksaan dipimpin Prasetyo. Salah satunya adalah mengenai pengawasan internal.

Hal ini mulai terlihat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menguak kasus dugaan suap yang berhubungan dengan Kejaksaan. Kasus tersebut antara lain adalah kasus ‘pengamanan’ perkara PT Brantas Abipraya di Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta serta kasus suap Jaksa Kejati Jawa Barat.

“Harus dilihat dari kasus per kasus. Karena punya karakter yang sangat berbeda, Kejati DKI perjalanannya panjang, sementara yang Bandung (kasus Jaksa Kejati Jawa Barat) masih proses. Yang sama bahwa ada satu sistem pengawasan internal yang tidak berjalan,” papar anggota Komjak Indro Sugianto, saat dihubungi, Kamis (14/7).

Bukan hanya soal sistem, dalam penanganan kasusnya Kejaksaan juga beberapa kali menerima pukulan telak, yang ironisnya ‘membebaskan’ pihak-pihak yang telah dijerat.

Catatan yang dihimpun, Kejaksaan telah beberapa kali gagal membuktikan bahwa kegiatan hukum yang meraka lakukan sah secara aturan. Pasalnya, ada beberapa kasus yang ditangani Kejaksaan tapi kandas di praperadilan.

Contohnya adalah kasus PT Victoria Securities Indonesia. Belum lagi praperadilan La Nyalla Matalliti, dimana Kejati Jawa Timur kalah dalam tiga praperadilan. Sebelumnya, Kejaksaan juga ‘tewas’ lantaran kalah dalam praperadilan yang diajukan Dahlan Iskan pada 4 Agustus 2015.

Tidak berhenti disitu. Kejaksaan juga dianggap gagal membuktikan dakwaannya. Ini dibuktikan dengan vonis bebas untuk Wakil Bupati Cirebon, Tasiya Soemadi, yang diputus pada 12 November 2015 oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Bandung.

Juga putusan bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Bandung kepada Wawan Indrawan, terdakwa kasus BJB Tower pada 14 Desember 2015.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby