Jakarta, Aktual.com – Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan pasal makar yang disebutkan dalam maklumat Kapolda Metro Jaya terkait dengan rencana aksi 2 Desember 2016 merupakan pasal karet yang multitafsir.
“Pasal ini sering digunakan rezim Orde baru untuk mengkriminalisasi para aktivis. Pada era reformasi, pasal ini sering digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis Papua yang melakukan protes,” kata Ghiffari dihubungi di Jakarta, Rabu (23/11).
Dalam maklumatnya, Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Mochamad Iriawan menyebutkan tentang larangan makar terhadap Presiden dan atau Wakil Presiden, hendak memisahkan diri dari NKRI dan makar dengan menggulingkan Pemerintah Indonesia.
Kapolda menegaskan ancaman dengan pidana mati atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun. Hal tersebut mengacu pada Pasal 104, 106, dan 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ghiffari mengatakan dalam sebuah aksi demonstrasi, merupakan hal yang lazim bila demonstran menyampaikan ketidakpuasannya terhadap pemerintah atau meneriakkan agar Presiden dan Wakil Presiden mengundurkan diri atau digulingkan.
“Merupakan hal yang berlebihan jika kepolisian menerapkan pasal makar hanya karena ekspresi,” ujarnya.
Padahal, menurut Ghiffari, pemerintahan yang saat ini berkuasa menikmati betul kebebasan berekspresi ketika melawan Orde Baru, menurunkan Presiden Abdurrahman Wahid bahkan mengkritisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Kepala Polri Jenderal Polisi Tito Karnavian telah mengeluarkan pernyataan melarang aksi lanjutan pada 2 Desember 2016. Kepala Polda Metro Jaya Irjen Polisi Mochamad Iriawan juga telah mengeluarkan maklumat Mak/04/XI/2016 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
(Ant)
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby