Jakarta, Aktual.com — Peristiwa ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta yang diduga dipicu oleh aksi balas dendam korban perundungan (bullying) kembali membuka luka lama dunia pendidikan Indonesia. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, menyebut kasus ini sebagai tanda bahwa praktik kekerasan dan perundungan di sekolah sudah masuk tahap darurat nasional.
“Kalau informasi yang kami terima benar bahwa pelaku merupakan korban bullying, maka ini sungguh sangat disayangkan. Padahal aturan tentang pencegahan bullying sudah bertumpuk-tumpuk dan sosialisasinya masif,” kata Lalu Hadrian saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senin (10/11/2025).
Menurutnya, kasus di SMA 72 menjadi bukti bahwa masih ada kelemahan dalam sistem pengawasan dan pembinaan karakter di sekolah.
“Berarti ada yang kurang, ada yang lemah. Karena itu kami mendorong Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) untuk melakukan evaluasi total dan langkah cepat agar kejadian serupa tidak terulang,” ujarnya.
Lalu menegaskan, sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi seluruh peserta didik. Ia menyoroti bahwa meskipun regulasi sudah jelas mulai dari Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 hingga berbagai pedoman antikekerasan di sekolah praktiknya masih jauh dari ideal.
“Sekolah bukan hanya tempat belajar akademik, tapi juga tempat tumbuhnya karakter. Kalau sampai ada siswa yang merasa terpojok hingga bertindak ekstrem, berarti ada yang salah dalam sistem pembinaan dan pendampingan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa pengawasan internal sekolah dan peran orang tua sangat penting dalam mencegah perundungan. Menurut Lalu, siswa harus didorong untuk berani melapor bila menjadi korban atau mengetahui kasus bullying di lingkungan mereka.
“Kami meminta orang tua aktif bekerja sama dengan sekolah melalui komite sekolah. Anak-anak juga harus tahu bahwa mereka bisa melapor tanpa takut. Kalau ada korban, segera lapor ke guru atau kepala sekolah, jangan diam,” ujarnya.
Pendidikan Karakter dan Literasi Digital Jadi Kunci
Menanggapi meningkatnya kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, DPR tengah menyiapkan revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu fokusnya adalah memperkuat pendidikan karakter dalam kurikulum.
“Pendidikan karakter, moral, dan sopan santun harus kita pertegas kembali. Generasi muda hari ini banyak yang terkontaminasi oleh informasi negatif dari media sosial. Maka literasi digital juga sangat penting untuk ditanamkan di sekolah-sekolah,” jelas Lalu.
Ia juga menilai bahwa pengaruh media sosial kerap memperparah perilaku perundungan, baik secara langsung maupun melalui kekerasan verbal di dunia maya. Karena itu, ia meminta Kemendikdasmen berkoordinasi dengan Kominfo dan KPAI untuk mengantisipasi dampak negatif dunia digital terhadap pelajar.
“Ketika berbicara soal digital, itu tidak bisa diselesaikan oleh Kementerian Pendidikan sendiri. Perlu sinergi lintas lembaga,” katanya.
Trauma Healing Jadi Prioritas
Komisi X DPR RI juga menyoroti pentingnya pemulihan psikologis bagi para siswa dan guru pasca ledakan di SMA 72. Lulu mengatakan, trauma akibat kejadian tersebut tidak bisa dianggap remeh.
“Guru dan siswa sama-sama mengalami trauma. Kami meminta Kemendikdasmen bersama Dinas Pendidikan DKI segera menurunkan tim psikolog untuk melakukan trauma healing, supaya kegiatan belajar bisa kembali berjalan dengan aman,” ujar Lalu.
Lalu menegaskan, penanganan perundungan tidak bisa dibebankan hanya pada satu pihak. Menurutnya, sekolah, orang tua, masyarakat, dan pemerintah daerah harus memiliki peran aktif dan saling mengawasi.
“Bullying ini sudah terlalu sering terjadi, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Jadi ini bukan sekadar urusan sekolah, tapi urusan kita semua sebagai bangsa,” tutupnya.
(Taufik Akbar Harefa)
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















