Jakarta, Aktual.com — Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan mengatakan, bahwa sikap yang ditunjukkan oleh Kapal Coast-Guard Tiongkok yang terkesan menghalang-halangi kapal Kementerian Kelautan dan perikanan (KKP) yang hendak menangkap KM Kway Fey yang memasuki perairan Natuna sebagai wilayah NKRI harus dipandang sebagai bentuk pelecehan terhadap kedaulatan Republik Indonesia.
Adapun adanya klaim Tiongkok bahwa nelayannya melakukan kegiatan masih di wilayah perairannya, hal tersebut sama sekali tidak memiliki landasan yang kuat berdasarkan peraturan hukum laut internasional.
“Terkait masalah klaim Tiongkok tentang traditional fishing zone tidak ada dalam The United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS), kalaupun ada tentang traditional fishing rights itu harus atas kesepakatan bersama di antara negara, jadi klaim tersebut tidak berdasar,” ujar Heri, kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (25/03).
Heri menuturkan, apa yang dilakukan dua Kementerian yakni Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) yang mengirimkan nota protesnya dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang telah melakukan penangkapan terhadap para nelayan ‘maling’ asal Tiongkok tersebut merupakan tindakan yang sudah tepat.
Namun, Heri menilai sikap-sikap Tiongkok seperti itu sangat bisa jadi akan terulang kalau pemerintah Republik Indonesia tidak mengambil sikap tegas dan tuntas.
“Ini bukan hanya soal kapal ikan yang melakukan illegal fishing tapi ini pencaplokan tersistematis untuk tujuan-tujuan jangka panjang,” cetusnya.
Selain itu, lanjut ia, sengketa Natuna nampaknya merupakan ‘bom waktu’. Sebab, menurutnya, konflik Natuna adalah soal perebutan sumber daya alam (SDA).
“Selain minyak bumi, wilayah itu menyimpan cadangan gas alam terbesar di dunia. Banyak ahli mengklaim Natuna adalah ‘surga’ energi terbesar di dunia yang bernilai ekonomi tinggi. Di Blok Natuna D-Alpha, misalnya, tersimpan cadangan gas dengan volume 222 triliun kaki kubik (TCT). Cadangan itu tidak akan habis hingga 30 tahun mendatang. Sementara itu, potensi gas yang recoverable di Kepulauan Natuna sebesar 46 tcf (triliun cubic feet) atau setara dengan 8,383 miliar barel minyak. Lebih jauh, jika digabung dengan minyak bumi, terdapat sekitar 500 juta barel cadangan energi hanya di blok tersebut,” ungkap Politisi Partai Gerindra tersebut.
Bahkan, tambah dia, jika diuangkan, kekayaan gas Natuna bernilai mencapai Rp6.000 triliun.
“Nilai itu sama dengan 3 kali lipat APBN saat ini,” terang dia.
Lebih lanjut, Heri mengungkapkan beberapa perusahaan asing seperti Petronas (Malaysia), ExxonMobil (AS), Chevron (AS), Shell (Inggris-Belanda), StatOil (Norwegia), ENI (Italia), Total Indonesie (Perancis), dan China National Petroleum Corporation (Tiongkok) pernah ‘bercokol’ di Natuna dan ikut menikmati untung besar.
“Jadi, cara-cara Tiongkok yang melecehkan Kedaulatan Republik Indonesia bisa jadi merupakan bagian dari upaya sistematis Tiongkok yang ingin mencaplok Natuna karena motif penguasaan Sumber Daya Alam,”
“Rasanya Tiongkok akan terus ngotot mencaplok Natuna karena mereka tahu akan untung besar dari pendapatan gas. Sedang kita, buntung. Pendapatan sektor Migas pasti terpuruk,” ungkapnya.
Heri pun mengingatkan kepada pemerintah agar jangan bersikap ‘masa bodoh’ dengan masalah tersebut. Sebab, kata dia, Natuna beserta kekayaan alam yang terkandungnya merupakan kedaulatan NKRI.
“Kedaulatan Natuna milik Indonesia, kedaulatan laut teritorial Indonesia, Jangan biarkan bangsa asing menginjak-injak wilayah Kedaulatan NKRI walau hanya sejengkal,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh: