Jakarta, Aktual.com – Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia menyayangkan ketidakberdayaan DPRD dalam menghadapi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) meski satu-persatu kewenangannya dipreteli. Salah satunya dengan percepatan lelang sejumlah proyek di DKI Jakarta sebelum pembahasan APBD DKI.

“DPRD seharusnya tegas mempertanyakan motif dibalik kebijakan Gubernur Ahok melakukan percepatan lelang sejumlah proyek di DKI Jakarta sebelum pembahasan APBD,” tegas Direktur KOPEL Indonesia Syamsuddin Alimsyah, kepada Aktual.com, Senin (24/10).

Percepatan lelang sejumlah proyek tersebut dinilai sengaja dilakukan dengan menabrak siklus perencanaan dan pembahasan anggaran yang seharusnya melalui persetujuan DPRD. Kebijakan Ahok secara sengaja juga mengebiri kewenangan DPRD sebagai lembaga yang pembentukannya juga diatur dalam konstitusi.

Dalam hal ini Pasal 18 ayat (3) UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut disebutkan bahwa ‘Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum’.

Bahkan, kata Syamsuddin, dalam UU 23 tahun 2014 tentang Pemda mengatur kedudukan DPRD yang setara sebagai bagian dari unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memiliki fungsi dan peran berbeda, yakni cek and balance jalannya pemerintahan. Itulah sebabnya, DPRD memiliki kewenangan yang kuat terutama dalam anggaran daerah. APBD disebut sebagai otorisasi parlemen.

Bahwa ada beberapa anggota DPRD yang selama ini korup, Syamsuddin tidak memungkirinya. Namun bukan berarti hal itu menjadi pembenar dengan mengabaikan kewenangan DPRD. Ia menyinggung kasus kelam di tahun 2015 yang gagal mendapat persetujuan DPRD sehingga terpaksa menggunakan APBD tahun sebelumnya yang ditetapkan dalam bentuk Pergub.

“Artinya, Gubernur sebenarnya tidak boleh melakukan transaksi melampaui anggaran yang tidak disetujui DPRD,” jelas Syam, sapaannya.

Ditambahkan, kebutuhan percepatan pembangunan memang sesuatu yang mutlak, namun harus tetap taat pada prosedur yang sudah ditetapkan. Prosedur dibuat bukan memperlambat namun dalam rangka memastikan semua berjalan dengan baik.

“Pertanyaan sekarang, siapa yang menggaransi proyek yang sudah dilelang tersebut benar atau pasti akan disetujui masuk dalam APBD 2017, sementara belum dibahas. Dan kalaupun disetujui, apakah angka yang dilelang tersebut akan sama persis yang disetujui dengan DPRD. Bagaimana bila angkanya terkoreksi?” urainya.

Kebijakan percepatan lelang, lanjut dia, sebenarnya bisa diantisipasi seandainya Ahok taat pada siklus anggaran, termasuk tepat jadwal dalam penyerahan rancangan APBD ke DPRD untuk dibahas sehingga penetapan APBD juga bisa lebih cepat.

Artinya eksekusi anggarapun termasuk proses lelang bisa berjalan lebih cepat. Sayangnya, skenario ini selalu meleset di DKI Jakarta. Gubernur Ahok hanya mau cepat implementasi tapi tidak taat kalender dalam penyerahan RAPBD.

Sebagai contoh, merujuk pada UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya Pasal 18 ayat (1) bahwa Pemerintah Daerah harus menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan.

Akan tetapi, sampai sekarang malah belum diserahkan ke DPRD sehingga tidak ada yang bisa dibahas. Fatalnya, RAPBD perubahan 2016 saja baru disampaikan ke DPRD tanggal 4 Oktober 2016 lalu, sehingga mempengaruhi terhadap jadwal penganggaran di DKI Jakarta. Dan, bukan tidak mungkin APBD DKI akan kembali gagal bila tidak segera diserahkan.

Dalam catatan KOPEL, kebiasaan buruk atas keterlambatan APBD DKI Jakarta terjadi sejak APBD tahun 2013 dan terus terulang sampai sekarang. Misalnya APBD tahun 2013 yang harusnya ditetapkan di bulan November tahun 2012, baru berhasil ditetapkan tanggal 28 Januari 2013.

APBD Tahun 2014 ditetapkan pada tanggal 22 Januari 2014, dan yang paling parah adalah APBD 2015 gagal ditetapkan sehingga harus menggunakan APBD tahun 2014 dengan melalui Peraturan Gubernur (Pergub). Baru APBD tahun 2016 berhasil ditetapkan sesuai dengan jadwal yaitu pada tanggal 23 Desember 2015.

“DPRD juga seolah tak berdaya atau mungkin tidak paham apa yang harus dilakukan bila Pemerintah terlambat menyerahkan dokumen RAPBD kepada DPRD untuk dibahas. Atau juga memang sengaja ikut melakukan pembiaran atas keadaan tersebut,” imbuh Syam.

Buktinya, selama ini publik tidak pernah mendengar baik di media apalagi bersuara resmi membawa ke sidang untuk mempersoalkan keterlambatan penyerahan dokumen tersebut. DPRD seolah mengamini keinginan Gubernur selama ini yang lebih memprioritaskan usulan paripurna penetapan Perda Zonasi daripada RAPBD 2017 diserahkan.

Ini dibuktikan dengan adanya surat Gubernur yang masuk ke DPRD awal Oktober lalu yang justru meminta paripurna penetapan Raperda Zonasi, bukannya APBD yang lebih prioritas dibahas.

 

*Sumitro

Artikel ini ditulis oleh: