Sebuah senja, saat gema takbir masih terasa lamat-lamat meninggalkan jejaknya di cakrawala, kami sekeluarga merayakan hari dengan bercengkrama di tepi pantai.
Sebuah bola matahari seketika muncul di ufuk barat mengecup langit penuh perasaan. Seakan mencium sambil menutup mata, cahyanya pun perlahan redup meninggalkan lembayung indah di cakrawala, menutup hari penuh harap.
Lembayung senja menjadi bukti, betapapun kelam saat-saat yang dilalui, ujung hari akan berakhir dengan indah. Dan setiap mentari tenggelam, betapapun gelap malam segera menyergap, masih ada harapan bagi para petarung dalam waktu: fajar baru tak lama lagi akan menyingsing.
Keindahan Idul Fitri itu seperti keindahan lembayung senja. Momen kepulangan manusia ke asal kesucian memijarkan cahaya di kelam hidup. Bahwa kemunculan lembayung indah itu melalui kehadiran awan kelabu. Begitu pun pengalaman hidup manusia dalam memasuki jalan pertobatan bisa melalui masa kegelapan. Kita tak boleh kehilangan pengharapan. Setiap pensuci memiliki kelam masa lalu, dan setiap pendosa memiliki cerah masa depan.
Makrifat Pagi, Yudi Latif
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin