Jakarta, Aktual.com — Warga Dusun Lenek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, hingga kini setia menggelar pesta panen raya dengan melaksanakan tradisi syukuran yang dinamakan “Mulek Kaya”.
Ritual syukuran itu dilaksanakan sebagai bentuk ucapan rasa syukur dan terima kasih kepada para leluhur dan sang pencipta alam, atas hasil panen yang diperoleh masyarakat setempat.
Masyarakat Dusun Lenek yang seluruhnya menganut agama Budha tersebut, diwajibkan mengikuti dan melaksanakan tradisi tersebut. Hal itu sesuai dengan amanat yang dititipkan oleh para leluhur mereka.
Ritual yang juga disebut oleh masyarakat setempat “Puja Balit” itu, digelar Minggu (9/8) sore, dengan diawali acara “Bayar Khaul”. Bagi masyarakat setempat yang ingin menjalankan niat baiknya, diberi kesempatan dalam acara pembuka tersebut.
“Jika ada yang ingin sembuh dari penyakit atau mendapatkan keturunan, dalam ajang ini warga berkesempatan untuk menyampaikan niatnya,” kata Jindrusah, salah seorang pemuka adat dari Dusun Lenek.
Syaratnya, kata dia, warga diharuskan menyerahkan sesajian, seperti hewan ternak atau makanan siap saji, yang ditujukan kepada para leluhur. Dalam acara tersebut, si pemohon akan diiringi oleh sekelompok pemuda yang disebut “Gegerok” (pengiring).
“Pengiring ini berasal dari para pemuda yang dengan sukarela membantu si pemohon agar niatnya dikabulkan,” ujarnya.
“Gegerok” membentuk barisan memanjang, dengan diiringi musik gamelan khas Dusun Lenek yang dinamakan “Inam Jerujing”. Barisan “Gegerok” masuk ke “Geding” (rumah adat tempat ritual) “Puja Balit”.
Dengan perlahan, barisan tersebut datang menghampiri si pemohon dan mengitarinya sebanyak tujuh kali. “Pada proses ini, si pemohon juga dibantu oleh pemangku, yang dipercaya untuk membantu meneruskan niatannya ke leluhur kami,” katanya.
Dalam kegiatan “Bayar Khaul”, masyarakat setempat percaya apa yang menjadi niatannya dapat terkabulkan. “Tapi, niatnya harus benar-benar tulus dan tujuannya untuk kebaikan, bukan hal yang buruk,” ujarnya.
Setelah proses “Bayar Khaul”, masyarakat adat kemudian melaksanakan acara “Begibung”, yaitu makan bersama di sekitar kawasan “Geding”. Tujuannya untuk memanggil para leluhur agar menikmati bersama atas karunia hasil panen selama tiga bulan dalam setahun itu.
Namun demikian, sebelum melaksanakan acara “Begibung”, sejumlah warga menggelar ritual tari-tarian, dengan mengitari sebanyak tiga kali, sebuah tempat sesajian yang luasnya sekitar tiga meter persegi dengan tinggi dua meter menjulang.
“Jadi sesajian ini dari persembahan warga, dan dikumpulkan di sebuah tempat persembahan,” ucapnya.
Usai melaksanakan ritual tari-tarian yang diiringi “Inam Jerujing” (musik gamelan), “pemangku” kembali ditugaskan untuk mengambil sesajian tersebut dan dibagikan kepada masyarakat.
“Tahap awalnya para ibu dipersilakan untuk makan, dan sebagian nasinya disisihkan untuk dihamburkan ke halaman. Setelah itu, baru dilanjutkan makan bersama, termasuk ikut juga para pemuka agama maupun tokoh masyarakat adat,” ujarnya.
Kemudian, acara terakhir yang sekaligus mereka sebut dengan acara puncaknya, yakni “Perang Topat”. Topat atau yang biasa disebut ketupat adalah makanan pengganti nasi, menjadi senjata dalam acara tersebut.
Pada “Perang Topat”, dilaksanakan oleh para pemuda yang sudah terpilih. Dibagi menjadi dua kubu yang jumlah anggotanya sebanyak lima orang. “Kedua kubu saling lempar, dengan dibekali topat sebagai senjatanya dan sebuah tameng sebagai pelindung badan,” ucapnya.
“Ketupatnya diambil dari sebagian sesaji persembahan warga, usai perang, ketupat itu dipersilakan untuk dibawa masyarakat, dan dijadikan sebagai pakan ternak maupun disebar pada tanaman warga, yang dipercaya dapat memberikan berkah,” katanya.
Dengan berakhirnya “Perang Topat”, maka ritual “Puja Balit” di hari itu selesai. Sekitar pukul 18.00 Wita, acara ditutup dengan ditandai bunyi salah satu alat musik yang disebut “Gong”.
“Setelah terdengar suara ‘Gong’ sebanyak tiga kali, maka pertanda ritualnya selesai,” ucap Jindrusah.
Sebelumnya, “Puja Balit” dilaksanakan terhitung mulai Kamis (6/8), dimulai dengan acara pembersihan. “Acara pembersihan ini diisi dengan kegiatan bersih-bersih ‘Geding’ dan juga seluruh lingkungan Dusun Lenek.
“Acara ini diikuti oleh seluruh masyarakat, diutamakan di area ‘Geding’, harus benar-benar bersih,” ucapnya.
Lebih lanjut, sebelum melaksanakan ritual “Puja Balit”, warga dalam dua sampai tiga bulan sebelum masuk masa tanam, juga mengadakan ritual “Nunas Kaya” atau juga disebut “Puja Taon”.
“Ritualnya hampir sama dengan ‘Puja Balit’, hanya waktu pelaksanaannya berbeda,” katanya.
Namun, untuk ritual “Puja Taon”, dilaksanakan dengan tujuan agar musim tanam berjalan dengan lancar, tidak ada gangguan, dan mendapatkan hasil yang melimpah ruah, sesuai harapan masyarakat.
“‘Nunas Kaya’, artinya meminta agar hasil panen melimpah ruah, itu dilaksanakan sebelum masuk musim tanam,” ujarnya.
Warisan Leluhur “Tradisi ini merupakan warisan nenek moyang kami, dan sudah dilaksanakan dari generasi ke generasi. Tujuannya untuk menyampaikan rasa syukur kepada sang pencipta dan para leluhur atas hasil panen yang kami terima,” kata Jindrusah.
Bahkan dipercaya, jika masyarakat setempat tidak mengikuti dan melaksanakan ritual tersebut, maka akan mendatangkan malapetaka. Sehingga, dengan kepercayaan itu, sampai saat ini tradisi tersebut masih “kokoh” terjaga dan menjadi warisan paling berharga milik warga Dusun Lenek.
Sehingga, dalam periode satu tahunnya, warga Dusun Lenek melaksanakan ritual tersebut di masa bercocok tanam. Untuk tradisi “Nunas Kaya”, biasanya warga melaksanakannya pada bulan Mei-Juni, dan ritual “Mulek Kaya” dilaksanakan tiga bulan pascamusim tanam, sekitar bulan Agustus-September.
Sedangkan, untuk waktu penanggalannya, lanjut Jindrusah, warga menetapkannya melalui proses musyawarah dengan sejumlah tokoh masyarakat, baik dari kalangan para pemuka agama, adat, petani, maupun kaum pemuda.
“Waktu pelaksanaannya tidak selalu sama di setiap tahun, semua tergantung hasil musyawarah, dan itu kami yakini adalah waktu yang tepat untuk dilaksanakan ritual persembahan ini,” ujarnya.
Ritual yang dikatakannya sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka itu, sangat dipercaya dapat membantu meningkatkan kesejahteraan, terutama bagi kalangan masyarakat yang diketahui sumber penghasilannya, sebagian besar berasal dari hasil pertanian dan perkebunan.
Saat disinggung mengenai awal mulanya ritual tersebut ada dan mampu menjadi tradisi yang dipertahankan sampai di zaman modern ini, Jindrusah mengatakan, “Mungkin ritual ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit datang, itu cerita dari nenek moyang kami, yang jelas kami percaya ini adalah tradisi leluhur yang pengaruhnya besar bagi kesejahteraan,” ucapnya.
Sehubungan hal itu, melihat seiringnya waktu yang menuju ke zaman modern ini, Jindrusah berharap warisan tradisi leluhur itu, dapat terus terjaga oleh generasi selanjutnya.
“Semoga kearifan tradisi ini dapat terus terjaga sampai anak cucu kami nanti, karena ini merupakan salah satu warisan paling berharga yang kami miliki dan dipercaya dapat menjaga kesejahteraan masyarakat, khususnya Dusun Lenek,” kata Jindrusah.
Artikel ini ditulis oleh: