Hanik menyebut, tidak adanya gejala awal apapun sebelum terjadi letusan freatik merupakan hal yang cukup wajar, terlebih dua letusan yang terjadi tersebut berskala kecil.
Berdasarkan studi yang dilakukan terhadap 115 kejadian letusan freatik, sebanyak 62 persen disertai dengan gejala awal, 22 persen gejala yang menyertai tidak jelas dan 16 persen sama sekali tidak disertai gejala.
Dari kedua letusan freatik yang terjadi dalam waktu berdekatan tersebut, BPPTKG juga tidak melihat adanya perubahan morfologi di puncak Gunung Merapi.
“Sekali lagi, letusan freatik ini merupakan karakter Merapi. Letusan freatik biasanya terjadi setelah terjadi erupsi besar. Sejak 2010 hingga saat ini, sudah terjadi sembilan kali letusan freatik,” ujar Hanik.
Ia pun menegaskan bahwa letusan freatik di Gunung Merapi hingga saat ini tidak disertai maupun diikuti dengan perubahan gejala seismik apapun sehingga dapat dipastikan bahwa letusan yang terjadi murni disebabkan akumulasi uap air dan gas hingga menyebabkan embusan.