Tulisan ke-2 : Kelayakan Lokasi Tanah dan Indikasi Pemborosan
Oleh :Prijanto, Pengamat Masalah-masalah di Pemprov DKI
Sesungguhnya, peraturan dibuat untuk memperlancar proses, tertib administrasi dan mencegah Tipikor. Dengan demikian program bisa dipertanggungjawabkan. Di dalam pembelian tanah RS SW, Kadiskes DKI mengakui telah membuat kajian tehnis, tetapi belum sesuai dengan Perpres Nomor 71/2012. Suatu pengakuan jujur yang perlu diapresiasi.
Sesuai Perpres 71/2012, penentuan lokasi untuk kepentingan umum harus melalui perencanaan dan kajian. Langkah awal, ditentukan beberapa alternatif, dibandingkan dan diuji oleh tim Persiapan Pengadaan Tanah. Sebagai ilustrasi, memilih pengganti stadion Lebak Bulus, dalam Rapim ditentukan beberapa alternatif lokasi untuk dikaji secara komprehensif oleh tim, hasil baru diajukan kepada Gubernur.
Normalnya, Gubernur hanya memberikan arah kebijakan. Gubernur tidak ikut campur secara detail, seperti rapat dengan pemilik tanah, dan mengarahkan tanah yang harus dibeli. Apalagi menyetujui langsung harga yang ditawarkan tanpa kajian staf dan tim. Untuk menjaga Gubernur agar tidak masuk wilayah pekerjaan anak buah dan terjerat Tipikor, satu-satunya cara hanya mematuhi aturan perundang-undangan.
Terlepas ada atau tidak ada kajian apakah rumah sakit tersebut sebagai kebutuhan mendesak rakyat Jakarta, kita dapat menguji dari sisi kelayakan lokasi tanah. Berdasarkan kajian tehnis yang ditanda tangani Kadiskes DKI, syaratnya antara lain (1) siap bangun (2) bebas banjir (3) akses jalan besar (4) minimal 2500 m2.
Dari syarat yang ditentukan, tanah milik RS SW yang dibeli tidak memenuhi syarat. Tanah tidak siap bangun, masih ada 15 bangunan yang digunakan rumah sakit. Areal RS SW daerah banjir, tidak strategis dan rawan macet. Lokasi tidak di jalan besar Kyai Tapa, tetapi di jalan arteri Tomang Utara.
BPK berpikir kritis. Mengapa Pemprov DKI seperti memaksakan untuk membeli tanah milik RS SW tersebut? Mengapa Plt Gubernur Ahok memberikan disposisi hanya satu hari dari surat penawaran? Mengapa Pemprov memaksakan pembayaran pada tgl 31 Desember 2014, dengan cara yang tidak lazim? Mengapa tanah tersebut dibayar padahal masih menunggak pajak PBB Rp. 6.616.205.808?
BPK menilai pembelian tersebut tidak efektip dan berindikasi pemborosan. BPK menunjuk sejumlah tanah yang dimiliki Pemprov DKI yang pantas untuk rumah sakit, antara lain di Jl. MT Haryono Kav 35, 36 dan 37 seluas 12.000 m2. Mengapa mesti menghamburkan uang rakyat membeli 36.410 m2, padahal kebutuhan minimal 2500 m2 ?
Kasus ini menjadi aneh ketika Wagub mengatakan pembelian itu bukan inisiatip Gubernur. Suatu pernyataan bernada pembelaan. Kalau bukan inisiatip Gubernur, lalu inisiatip siapa? Bawahan, temen, istri, saudara atau siapa? Pernyataan Wagub menjadi menarik untuk ditindaklanjuti. Pertanyaan nakal, siapakah inisiator dibalik kasus ini?
Dalam birokrasi, hal terpenting itu pada keputusan pemimpin. Artinya, inisiatip boleh datang dari mana saja, tetapi tanggung jawab tetap pada pemilik otoritas memerintah dan memutuskan. Ketika Gubernur telah memberikan perintah lewat disposisi kepada Kepala Bappeda pada surat penawaran, berarti tanggung jawab sudah ada di Gubernur.
Pada umumnya, dalam berbagai kasus dimana saja, pimpinan bisa marah jika ternyata inisiatip bawahan membawa malapetaka. Bagaimana bentuk kemarahan pemimpin bisa macem-macem. Ada yang memainkan pena dengan hukuman administrasi, menegor lisan sampai dengan marah yang tidak terukur.
Si Bahlul rakyat biasa berpikir, jika bawahan yang salah, pasti pimpinan marah. Kemarahan imajiner tak terukur a la si Bahlul jika pimpinan ditipu bawahan dalam kasus tanah : “Lu sodorin gue beli tanah busuk. Goblok lu! Emangnya uang nenek lu? Bukan to? Lu mestinya ngerti, kita punya tanah kosong di jalan MT, RSF, MPI dan banyak lagi. Lu pingin bangun RS ya tinggal manfaatkan tanah itu. Ngapain Lu beli tanah lagi? Lu doktor mau korup ya, jangan goblok! Taiklah lu, pokoknya gue nggak mau tanda tangan !! ” .
Atasan memarahi bawahan selama terukur adalah lumrah. Jika marahnya berlebihan dan cenderung keluar dari etika, seperti yang dibayangkan si Bahlul, jelas tidak lumrah. Sesungguhnya, setiap orang memiliki hawa nafsu untuk marah. Kemampuan mengelola tempat, waktu, cara dan keterukuran marah seseorang itulah yang disebut dengan kecerdasan emosional.
Sejauh mana kecerdasan emosional seseorang tergantung pada pola asuh dan pola kehidupan. Ketekoran dari keinginan untuk diakui, diperhatikan dan diapresiasi ketika masa lalu, akan dikejarnya secara ambisius yang terkadang tidak terkontrol dan pemarah. Bahkan, istri seorang pemimpin yang dominan, atau pemimpin yang takut istripun bisa membentuk pertahanan diri yang negatip saat menjabat.
Kembali kepada pokok persoalan. Wagub menyampaikan pembelian itu bukan inisiatip Gubernur Ahok. Lalu pembelian itu inisiatip siapa ? Bawahan kah? Tetapi, mengapa tidak terdengar ada bawahan yang dimarahi? Mengapa Gubernur justru marah-marah dan menantang BPK? Mengapa Gubernur justru menantang agar BPK memeriksa kekayaan seorang anggota DPRD DKI yang kritisi kasus ini dan memeriksa terlepasnya aset ex kantor Walkot Jakbar ?
Selain pembelaan Wagub Djarot, kemarahan dan tantangan Gubernur kepada BPK terasa aneh. Tantangan kepada BPK tidak ada relevansinya dengan kasus pembelian tanah RS SW. Tugas BPK bukan untuk memeriksa kekayaan seseorang. Tugas BPK memeriksa Laporan Keuangan insititusi pemerintah.
Ketika memeriksa Laporan Keuangan, BPK jelas sudah mengetahui, lepasnya aset ex kantor Walkot Jakbar, karena keputusan hukum yang harus ditaati. Kasus tersebut sudah melalui proses hukum sampai dengan putusan PK dari MA. Jika ada indikasi yang menyimpang tentu bisa diajukan sebagai kasus tersendiri ke institusi hukum, bukan BPK.
Kasus hilangnya aset ex kantor Walkot Jakbar harus menjadi pembelajaran terkait kasus taman BMW. Walau sudah bersertifikat, jika cara memperolehnya tidak benar, bisa dibatalkan. Kekuasaan janganlah memaksakan kehendak untuk sertifikasi suatu tanah yang tidak lengkap dokumennya. Sebab, hal itu membawa konsekwensi berhadapannya Pemprov DKI dengan masyarakat.
Terkait kewajiban fasos-fasum pengembang, bisa jadi Pemprov DKI dibenturkan oleh pengembang untuk berkonflik dengan rakyat. Pengembang meloloskan diri dari konflik dengan masyarakat. Pengembang lolos dari membayar fasos-fasum sebagai kewajibannya. Kehati-hatian, kecerdasan dan tidak mudahnya terkooptasi oleh pengembang menjadi faktor penting.
Terkait pembelian sebagian tanah milik RS Sumber Waras, kiranya aparat penegak hukum bisa bertindak pada koridor hukum secara profesional. Di sisi lain, para pejabat Pemprov DKI harus jujur tanpa harus ada yang ditutupi dan dilindungi. Harus diingat barangsiapa menutupi atau melindungi tindak pidana bisa dipidana.
Saat ini harapan masyarakat tertumpu kepada kerjasama BPK dengan KPK. Semoga, cepat atau lambat, persoalan akan terkuak dan kebenaran yang akan menang.
Artikel ini ditulis oleh: