Tulisan ke-3 : NJOP yang Keliru dan Kerugian Daerah
Oleh : Prijanto, Pengamat Masalah-masalah di Pemprov DKI
Pada tulisan pertama sudah dijelaskan adanya aturan perundang-undangan yang tidak dipatuhi. Sedangkan pada tulisan ke-2 tentang lokasi tanah tidak memenuhi syarat dan pemborosan. Pada tulisan ke-3 ini akan disampaikan, bahwa pembelian tanah tersebut menggunakan NJOP yang keliru dan menimbulkan kerugian keuangan daerah.
Areal RS Sumber Waras terdiri dari dua bidang tanah, dalam satu hamparan dengan satu NOP (Nomor Obyek Pajak). Tanah seluas 32.370 m2 bersertifikat SHM dan yang satunya seluas 36.410 m2 bersertifikat HGB. Tanah bersertifikat HGB inilah yang dibeli Pemprov DKI.
Pada tanggal 27 Juni 2014, pihak YKSW atau RS Sumber Waras berkirim surat kepada Plt. Gubernur DKI (Ahok) yang berisi penjelasan, sebagai tindak lanjut pertemuan Direktur Umum RS SW dengan Plt Gubernur DKI tanggal 6 Juni 2014 dan kesediaan menjual tanah seluas 36.410 m2 dengan harga Rp. 20.755.000 per m2, sesuai NJOP tanah di Jl. Kyai Tapa.
Dari surat penawaran tersebut ada kata kunci penting (1) ada pertemuan antara Plt Gubernur Ahok dengan penjual tanah (2) kepastian luas tanah (3) harga per m2 sesuai NJOP di Jl Kyai Tapa. Tidak diketahui apa disposisi Plt Gubernur pada surat penawaran pertama tersebut.
Tanggal 7 Juli 2014, YKSW kembali tulis surat penawaran dengan NJOP Rp. 20.755.000/m2, total Rp. 755.689.550.000. Dalam surat diinformasikan, YKSW masih terikat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (APPJB) 14 Nopember 2013 dengan PT CKU, dengan harga Rp. 15.500.000/m2, total Rp. 564.355.000.000.
Walaupun YKSW masih terikat dengan PT CKU dan lebih mahal Rp. 191.334.550.000, Plt Gubernur Ahok memerintahkan Kepala Bappeda melalui disposisinya tanggal 8 Juli 2014 untuk dianggarkan. Perintah tersebut tidak sesuai aturan karena tanpa melalui proses penawaran harga. Di sisi lain juga berpotensi konflik, mengingat adanya APPJB antara YKSW dengan PT CKU.
Jika pihak Pemprov DKI berkilah, selisih harga tersebut logis karena APPJB PT CKU dibuat tahun 2013, justru pembelaannya menjadi tidak logis. Pertama, selisih waktu belum ada 1 tahun. Kedua, PT CKU bersedia seharga tersebut jika peruntukan tanah bisa dirubah dari Suka Sarana Kesehatan (SSK) menjadi komersial. Apabila tidak bisa, APPJB batal.
Mestinya Pemprov DKI cerdas, bahwa PT CKU berani beli mahal jika peruntukan tanah bisa berubah komersial. Artinya, harga Rp. 564.355.000.000 yang ditawar PT CKU saja sudah kemahalan. PT CKU berani beli dengan NJOP Rp. 15.500.000 lebih tinggi dari NJOP yang seharusnya ada di jalan Tomang Utara karena ada harapan adanya perubahan peruntukan menjadi komersial.
Di dalam Kajian Tehnis Tim Dinkes DKI, tanah HGB yang dibeli batas Utara Jl. Tomang Utara. Sebelah Selatan berbatasan dengan RS SW. Artinya tanah tersebut terletak di Jl. Tomang Utara. Setelah dibeli, tanah tersebut sah sebagai aset DKI. Berapa nilai aset? Nilai aset secara sederhana bisa dihitung luas 36.410 m2 kali NJOP di Jl. Tomang Utara sebesar Rp. 7.445.000/m2. Total Rp. 271.072.450.000,-
BPK dalam menghitung kerugian daerah dari selisih beli Pemprov DKI dengan pembelian PT CKU, yaitu Rp. 755.689.550.000 – Rp. 564.355.000.000 = Rp. 191.334.550.000. Namun saya pribadi punya hitungan lain yaitu dari perspektif nilai aset. Selisih saat beli dengan nilai aset setelah menjadi milik DKI, bisa untung atau rukgi. Ternyata terjadi kerugian daerah Rp. 755.689.550.000 – Rp. 271.072.450.000 = Rp. 484.617.100.000. Jika ternyata ada kerugian nilai, mengapa harus beli? Adakah sesuatu dibalik pembelian tersebut? Itulah yang menjadi pertanyaan masyarakat.
Mencermati tulisan ke-1 sampai dengan tulisan ke-3 ini, sebagaimana yang ada di dalam LHP BPK, ada indikasi sebagai berikut :
1. Adanya tindakan melawan hukum, yaitu proses pembelian yang tidak mematuhi UU Nomor 19/2012, Perpres Nomor 71/2012 dan Peraturan Mendagri Nomor 13/2006.
2. Adanya kerugian keuangan negara atau daerah sebesar Rp. 191.334.550.000 (dari perspektif selisih harga beli antara DKI dengan PT CKU) atau Rp. 484.617.100.000 (dari perspektif selisih harga beli dengan nilai aset setelah dibeli).
3. Ada pihak yang diuntungkan. Siapa yang diuntungkan, tergantung hasil pemeriksaan dalam proses hukum. Dari hitungan nilai tanah, satu yang pasti diuntungkan adalah pemilik lahan.
Semoga tulisan ini bisa sebagai informasi dan bermanfaat. Masyarakat bisa menilai apakah benar ada indikasi korupsi atas pembelian tanah tersebut.
Mari kita dukung kerja aparat penegak hukum. Semua pihak hendaknya yakin, BPK bekerja secara profesional dan kerjasama antara BPK dan KPK akan membangun sinergi yang kuat dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh: