Jakarta, Aktual.com – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI soroti pengelolaan aset dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemprov DKI tahun anggaran 2015.
Juga penyerahan kewajiban oleh swasta atas terbitnya surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT) dan buruknya penyerapan pendapatan daerah.
“Sistem informasi pajak kendaraan bermotor (PKB) belum mendukung pencatatan pendapatan dan piutang berbasis akrual. Sehingga yang ditagih terlalu rendah,” ujar Anggota V BPK RI, Moermahadi Soerja Djanegara, DKI 2015 melalui paripurna istimewa di Gedung DPRD, Kebon Sirih, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (1/6).
Pengendalian pengelolaan pendapatan dan piutang pajak bumi dan bangunan (PBB) juga disoroti BPK, karena datanya belum memadai. Akibatnya, pendapatan daerah bisa berbeda dengan realisasinya. “Itu belum dapat ditelusuri,” jelasnya.
Sedangkan mengenai aset, beberapa catatan BPK seperti pengelolaan piutang kerja sama belum didukung prosedur penagihan dan penyisihan piutang, belum menagih seluruh kewajiban fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) dari 1.370 pemegang SIPPT, serta belum menindaklanjuti secara memadai atas akun aset-aset lain senilai Rp14,5 triliun.
Mekanisme konversi kewajiban dari pemegang SIPPT atas kompensasi rumah susun (rusun) juga dianggap belum memadai. “Belum diatur nilainya. Sehingga, menyulitkan pencatatan secara akrual,” ungkap Moermahadi.
Atas beberapa catatan tersebut, BPK memperbaiki pengelolaannya. Misalnya, membuat sistem aplikasi untuk masalah PBB dan PKB, mengevaluasi kebijakan penagihan konversi pengembang dalam bentuk uang, SIPPT, fasos/fasum.
Lalu memberikan perhatian pada pengelolaan aset tetap memakai sistem akuntasi berbasis akrual serta menyelesaikan sengketa aset sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Moermahadi pun meminta Pemprov DKI segera merespon catatan BPK tersebut sesuai Pasal 20 UU No. 15/2004. “Selambat-lambatnya 60 hari setelah diterima,” ujar dia.
Artikel ini ditulis oleh: