Jakarta, Aktual.co — Dampak dari liberalisasi perdagangan yang dilaksankan pemerintah pada tahun 2015 dituding telah mengsengsarakan petani kedelai dan produsen tempe dan tahu Indonesia.

Ketua umum Gabungan Koperasi Produsen Tahu Indonesia (Gakoptindo) mengungkapkan produsen tempe dan tahu sangat tergantung kepada importir. Saat ini kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2,2 juta ton per tahun. Sedangkan produksi dalam negeri baru sebanyak 600 ribu ton per tahun.

“Selama ini kita masih impor dari Argentina dan Amerika Serikat, kurang lebih sebesar 1,6 juta ton. Ini sudah berlangsung selama 10 tahun, Kedelai diimpor dari Amerika dan lain sebagainya, kalau 2 ton per tahun, harganya ada yang 8 ribu dan lebih. Tapi kalau dicetak jadi jadi tempe. Jadi setengah kilo tempe,” kata Aib dalam diskusi yang bertajuk liberalisasi perdagangan peluang bagi rakyat di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (28/02)

Itulah sebabnya harga kedelai di Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh importir dan harga di luar negeri. Padahal kata Aib, Indonesia merupakan pembeli kedelai terbesar di dunia dan produsen tahu-tempe terbesar di dunia.

Dia mengaku produsen tempe mengalami kesulitan mendapatkan kedelai, pasalnya ada sebagian petani yang berhasil memanen kedelai tapi tidak untuk dijual sebagai bahan produksi mentah, melainkan untuk dikembalikan menjadi bibit.

“Ada yang tidak menjual kedelai ke pasaran. Mereka panen sekian hektar untuk dijadikan bibit kedelai kembali. Kami minta agar Bulog dapat impor langsung agar ada kepastian harga, Liberalisasi perdagangan ini sudah menyengsarakan petani dan produsen tempe,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka