Yudi Latif
Yudi Latif

Saudaraku, bangunan negara Indonesia hari ini ibarat berdiri di atas tanah aluvial dengan daya ikat tanah yang merenggang. Dengan satu getaran gempa sosial, segala bangunan yang dengan susah payah didirikan bisa saja mengalami proses likuefaksi: sirna ilang kertaning bumi.

Kita harus sungguh-sungguh mencermati proses perenggangan kohesi sosial ini. Bagi bangsa super majemuk seperti Indonesia, membangun kohesi sosial jauh lebih sulit dan lebih vital dibanding bangsa yang lebih homogen.

Bagi bangsa multikultural, jalan yang harus dilalui seseorang untuk dapat mengalir dari hulu air kepentingan survival perseorangan, melalui kesetian pada aliran sungai-sungai kecil komunalisme, menuju muara peleburan kehidupan kebangsaan demi kebajikan bersama sungguh merupakan jalan panjang nan terjal.

Dalam masyarakat majemuk, kepentingan suatu kelompok harus bersaing dengan aneka kelompok lain dan berlaku hukum evolusi: bahwa kelompok dengan kohesi sosial yang lebih kuat akan mengalahkan kelompok lain dengan kohesi sosial lebih lemah. Pada akhirnya, kelompok-kelompok komunalisme yang bersaing ini dipaksa oleh tantangan kesejarahan, yang mempertautkan dan mempertaruhkan nasib bersama, untuk melebur ke dalam suatu komunitas yang lebih besar. Terbentuklah komunitas kebangsaan kewargaan (civic nation).

Proses peleburan aneka kelompok dengan segala konflik kepentingannya ke dalam kuali kebangsaan kewargaan ini dimungkinkan oleh semangat gotong-royong. Pembiasaan gotong-royong tidaklah seperti durian runtuh, melainkan dihasilkan oleh keringat sejarah. Ditumbuhkan oleh persepsi tentang kesamaan kepentingan dan ancaman, yang diikat oleh konstruksi tentang norma untuk memberi ganjaran dan hukuman, serta kesetian pada nilai, simbol dan “ritual” bersama di ranah publik (civil religion).

Merenggangnya kohesi sosial mengindikasikan melemahnya semangat gotong-royong, karena memudarnya kehendak hidup bersama. Hal itu terjadi karena kelemahan tata nilai budaya kewargaan, distorsi dan ketidakcapan tata kelola negara, serta ketidakadilan dan ketidakmakmuran ekonomi, yang mengendurkan kehendak hidup bersama. Situasi demikian bisa jadi ranjau berbahaya bagi keberlangsungan bangsa.

Makrifat Pagi, Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin