Pekerja menimbang tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tempat penampungan sementara kelapa sawit Desa Bunga Tanjung, Betara, Tanjung Jabung Barat, Jambi, Minggu (26/6). Harga TBS kelapa sawit di tingkat penampung di daerah itu terus menurun dari Rp1.500 per kilogram pada bulan lalu menjadi Rp1.150 per kilogram pada hari ini. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/pd/16.

Jakarta, Aktual.com – Organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari WALHI, JATAM dan Forest Watch Indonesia (FWI) mempertanyakan komitmen Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN) dalam pengelolaan tata ruang secara berkelanjutan.

Pasalnya, Kementerian ATR/BPN tidak mau bersikap terbuka terhadap informasi publik untuk memacu partisipasi masyarakat. Bahkan Kementerian ATR/BPN melakukan upaya banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta demi melindungi korporasi perkebunan kelapa sawit.

Padahal Komisi Informasi Publik (KIP) telah mengabulkan permohonan dari FWI dan menyatakan data Hak Guna Usaha (HGU) sawit di Kalimantan yang diajukan pemohon merupakan data publik dan boleh diakses secara terbuka.

“Kami sangat kecewa dan menyayangkan tindakan Kementerian ATR/BPN yang tidak mampu bersikap transparan. Bagaimana masyarakat bisa melakukan partisipasi dalam pembangunan jika pemerintah tidak melibatkan masyarakat. Akibat sikap Kementerian ATR/BPN seperti ini, telah terjadi konflik agraria dan penyerobotan lahan dimana-mana,” kata Direktur kampanye FWI Linda Rosalina di Jakarta, Jumat (19/8)

Kemudian Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Timur, Fathut Roziqin Fen menambahkan bahwa konflik perkebunan kelapa sawit bermula sejak tahap awal proses perijinan tidak dilakukan secara transparan, sehinga terjadi penyerobotan serta alih fungsi lahan produktif menjadi perkebunan.

“Pembukaan lahan perkebunan yang tidak mengundang partisipasi masyarakat telah berdampak secara luas. Selain berdampak terhadap ekosistem alam dan keberlanjutan pangan, namun ini juga menyebabkan masyarakat menjadi buruh di kampung sendiri,” tegasnya Fathut.

Untuk itu, atas nama Organisasi masyarakat sipil mendesak Kementerian ATR/BPN untuk mencabut proses banding dan menjalankan serta menghormati putusan KIP. (Dadangsah)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka