Ketiga, hal detail menyangkut kerumitan pengelolaan hubungan kewenangan daerah dan antardaerah. Keempat, adanya kolaborasi elite dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah guna mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan kemaslahatan umum dan kesehatan lingkungan.
Sementara itu politik lokal juga dinilai masih menganut oligarki kekuasaan sehingga menghambat otonomi daerah selama empat tahun pertama pemberlakuan desentralisasi dan otda 2001-2004. Peran DPRD tidak digunakan untuk memonitor dan mengawal kinerja Pemda, melainkan untuk melakukan daya tawar politik untuk kepentingan diri dan partainya saja.
“Hak yang sama juga tampak selama kurun 2005 sampai saat ini, di mana otonomi daerah juga tidak menghasilkan capaian yang bisa dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat,” kata dia.
Dia menekankan dengan adanya hambatan dalam proses pelaksanaan desentralisasi dan otda, bukan berarti riwayat desentralisasi dan otda berakhir.
Untuk menjawab problematika pelaksanaan desentralisasi dan otda, kata Siti, ada beberapa hal krusial yang perlu dilakukan, antara lain membangun komitmen jelas antarpemangku kepentingan berkenaan pelaksanaan otda, mendorong implementasi “good governance” dan penguatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid