Bogor, Aktual.com – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan ancaman kepunahan satwa Indonesia semakin nyata dengan semakin beratnya tantangan yang dihadapi, karena itu butuh peran masyarakat terutama generasi muda untuk ikut melakukan upaya penyelamatan.
“Pendidikan konservasi harus lebih dimasifkan, bagaimana mendidik masyarakat berbuat yang benar di lingkungannya,” kata Sekretaris Utama LIPI Siti Nuramaliati P, dalam seminar memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional di Gedung Kusnoto LIPI, Bogor, Jawa Barat, Kamis (23/11).
Siti mengatakan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional yang diperingati setiap tahun bukan untuk cinta satwanya lalu dimiliki, dipelihara atau dipetik, tapi bagaimana mendidik masyarakat memelihara dan merawatnya satwa maupun tumbuhan tersebut.
Seperti yang dilakukan negara-negara lain ketika musim dingin, masyarakatnya menaruhkan makanan di atap rumah digantungkan supaya burung-burung bisa makan.
“Memberi makan makhluk lain itu amal. Nilai-nilai ini perlu ditanamkan sejak dini di sekolah, dan lingkungan sekitarnya bagaimana penerapan hari cinta puspa dan satwa,” katanya.
Siti menyebutkan tantangan pelestarian satwa dan fauna Indonesia cukup berat. Sementara secara karakteristik Indonesia yang terdiri atas banyak pulau sehingga masing-masing memiliki spesifik tumbuhan maupun satwahnya baik di darat maupun lautan.
Berbeda dengan Amerika Latin yang memiliki keanekaragahaman hayati (Kehati) dengan jenis sedikit tetapi jumlah atau populasinya cukup banyak.
“Beda dengan Indonesia kondisi geologinya membuat tumbuhan dan satwa ini rentah, walau kehati kita kaya jenisnya, tetapi jumlah atau populasinya terbatas,” katanya.
Terbatasnya jumlah populasi ini, lanjutnya juga dipengaruhi karakteristik masyarakat Indonesia yang belum memiliki kepedulian terhadap keberlanjutan satwa dan fauna.
Sebagai contoh Jurik Bali yang hanya ada di Bali, dan banyak satwa-satwa endemik lainnya yang diperdagangankan secara ilegal membuat populasinya semakin berkurang di alam.
Satwa endemik Indonesia tersebut laku terjual di pasar internasional dengan harga jutaan rupiah, dijual secara ilegal. Satwa tersebut diperdagangkan untuk peliharaan, maupun untuk konsumsi dan obat-obatan.
“Bangsa dan rakyat Indonesia belum peduli dengan kehati tersebut, hanya mementingkan nilai ekonominya,” katanya.
Contoh kasus burung Kakak Tua yang banyak diekspor dulunya, kini populasinya semakin berkurang di alam. Kondisi tersebut terjadi salah satunya karena kurangnya menjaga lingkungan.
Menurut Siti, alam harus dijaga secara lestari, dimanfaatkan untuk keperluan peliharaan, dikonsumsi atau dijual dan digunakan secukupnya saja. Flora dan fauna Indonesia membutuhkan waktu untuk berkembang dengan menyebarkan bibit-bibitnya. Jika kondisi tersebut terjaga dengan baik maka secara nilai ekonomi masyarakat akan mendapat manfaat dari kehati.
Tetapi, sifat manusia yang serakah, selama satwa itu laku dihabiskan tanpa berfikir apakah masih ada populasinya di alam. Perlu untuk memberikan waktu bagi tumbuhan dan satwa untuk berkembang biak. Jangan sampai kasus Beo Nias yang dijual anakannya kini sudah tidak ada lagi di alam.
“Persoalan di Indonesia itu habitat alamnya rusak tidak diberi kesempatan, diambil sebanyak banyaknya, jadi satwa dan tumbuhan berkembang biapun tidak sempat. Ini yang menyebabkan mereka punah,” kata Siti.
Siti menekankan yang harus dilakukan adalah menjaga habitat sebaik mungkin supaya flora dan fauna diberi kesempatan berkembang biak dengan adanya binatang yang bertugas menyebarkan biji-biji tumbihan untuk berkembangbiak.
Perlu ada sosialisasi kepada masyarakat dan generasi muda peran tumbuhan dan satwa yang masih ada untuk masa depan umat manusia. Jika keduanya punah, maka rantai suplai makanan akan terputus ancamananya wabah penyakit.
“Seperti Kelelawar yang ada di Kebun Raya Bogor itu manfaatnya besar. Dalam semalam bisa memakan 3.000 nyamuk. Nyamuk vektor malaria, kalau kelelawar hilang, siapa yang mengendalikan populasi nyamuk,” kata Siti.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: