Managing Director Cyrus Network Research and Consulting Eko Dafid Afianto (kiri) dan Peneliti Senior LIPI Syamsudin Haris (kanan) berbicara saat rilis survei calon gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 di Jakarta, Rabu (11/11). Hasil survei periode 27 Oktober hingga 1 November 2015 dengan 1.000 responden menempatkan Basuki Tjahaja Purnama masih menjadi kandidat terkuat disusul Ridwan Kamil, Tri Rismaharini dan Adhyaksa Dault. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama/15.

Jakarta, Aktual.com – Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, mengatakan sistem ambang batas presidensial (presidential treshold) berdasarkan perolehan suara 25 persen dan 20 kursi di parlemen dinilai tidak relevan lagi.

“Saya mulai dulu bahwa sistem presidensial lembaga presiden dan parlemen terpisah satu sama lain. Berbeda dengan parlementer. Maknanya keduanya basis legitimasi yang berbeda satu sama lain,” ujar Haria saat diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/5).

Menurut dia, aturan ambang batas untuk pencalonan presiden yang bertepatan dengan pileg dan pilpres secara serentak, kemudian adanya batas pengusungan presiden berdasarkan minimal 20 kursi di parlemen dan 25 persen perolehan suara diambil dari periode lalu, dianggap tidak relavan.

“Bagi saya ambang batas pencalonan itu tidak relevan bukan soal 20, 0 persen, tapi memang tidak relevan. Bahwa ada usulan parpol supaya lebih rendah dan sebagainya itu hak politik parpol di dewan. Dari sistem tidak relevan,” terang Haris.

“Solusinya adalah kenapa tidak relevan lagi kalau misalnya persyaratan 20 persen perolehan suara atau 25 perolehan suara. Parlemen ya belum ada yang ada DPR hadir 2014. Jadi tidak masuk akal kalau digunakan kembal,” tambah dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby